Naray (p. 2)



Vanka menggaruk kepalanya tanda bingung. “Ah lupakan.” Kataku pura-pura manis. Aku melanjutkan percakapanku dengan diriku sendiri, dia ini anak tetangga yang melaporkan orang tuaku ke polisi. Mengapa ia tahu aku di penjara? Apakah nyalinya sebesar itu untuk menemuiku?
*****
Aku berada di mobil Vanka. Kami sudah dalam perjalanan selama 30 menit dan aku bahkan tak tahu ke mana tujuan kami. Tapi aku sudah biasa dengan hidup tanpa arah, jadi kunikmati saja. Sepanjang perjalanan, Vanka menanyaiku dengan pertanyaan tak penting. Aku menjawab ketika aku mau saja, saat kurasa aku muak dengan pertanyaannya aku akan membungkam mulutku, dan ia hanya tersenyum melihat tingkah anehku. Yang aneh aku atau dia? Sepertinya dia.
“Oh iya Naray, sesudah bebas ini kau ingin melakukan apa? Apakah meraih cita-citamu yang sempat tertunda?” tanyanya sambil fokus menyetir.
Aku menyeringai. Aku tahu dia tidak ingin mengetahui cita-citaku. “Cita-citaku sudah tercapai.” Jawabku singkat.
“Memangnya cita-citamu apa?” tanya Vanka lagi. Sepertinya ia tidak pernah bosan menanyaiku. Apakah ia seorang wartawati? Kalau iya aku ingin merobek mulutnya sekarang.
“Cita-citaku? Kau yakin ingin mendengarnya?” balasku cepat dengan nada sinis.
“Ya. Tentu, mengapa tidak.” Vanka terlalu semangat dengan jawabannya.
“Cita-citaku adalah masuk penjara.” Aku membeku setelah mengucapkan kalimat itu. Baru pertama kali aku merasa bersalah mengucapkan kalimat itu, padahal biasanya aku sangat bangga.
Vanka tertawa keras. Usaitertawa, kami telah sampai ke suatu tempat yang tak kuprediksi. “Ah, iya iya. Apakah kau ingin masuk penjara karena ingin bertemu orang tuamu?” Bibirku semakin kelu untuk menjawab. Kubiarkan pertanyaan Vanka terbang bersama angin. Tak kusangka ia tak berhenti bertanya. Bahkan ia seperti mesin pelempar bola tenis, melempar pertanyaan secara terus-menerus. Aku bertanya pada diriku sendiri, apakah aku boleh membunuhnya sekarang?
“Kau tahu, Ayah dan Bundamu adalah orang yang sangat baik.” Jelas Vanka. Aku tahu itu! Teriakku dalam hati.
“Aku membaca buku harian Bundamu, dan beliau bilang bahwa ia sangat menyayangimu serta berharap kau akan menemukan pangeranmu.” Suara Vanka mulai berubah. Suaranya bergetar seperti mesin pemompa ban. Air mataku lepas kendali butir demi butir.
“Aku minta maaf karena orang tuamu dipenjara karena orang tuaku.” Sekarang suara bak mesin pemompa ban itu bertransformasi menjadi suara air terjun, berisik dan deras. Vanka menangis. Aku ingin mengakhiri drama tak penting ini lalu membunuhnya secepat yang aku bisa.
Vanka tak membiarkanku menyeka butiran air mataku sedikit pun, ia melanjutkan setiap kalimatnya. Ia seperti sedang menjahit lukaku yang selama ini menganga lebar. “Semua karena aku. Aku tak sengaja menusuk anak gang lain dulu, terus aku kabur memberitahu Papa dan Mamaku. Ayah dan Bundamu menemukan mayat anak gang lain itu lalu membawanya ke rumah sakit. Setelah itu Papa dan Mamaku yang melaporkan bahwa Ayah dan Bundamu telah melakukan pembunuhan berencana itu untuk melindungiku dari hukuman.” Dapat kurasakan badan Vanka yang bergetar. Getaran yang diakibatkannya bisa membelah tanah...... juga jiwaku.
“Bolehkah aku membunuhmu sekarang?” tanyaku pada Vanka. Suaraku parau. Tak dapat kutahan lagi emosi yang berkelebat dalam hatiku.
Vanka terduduk di atas tanah basah. Ia mengangguk-angguk. Ia membolehkanku membunuhnya? Tanyaku dalam hati. Matanya beralih ke sebuah batu berukir di hadapannya. Aku harus jongkok untuk melihat dengan jelas apa yang terukir di batu lapuk itu. SONYA binti ABDUL dan TONI bin DANU. “Sebelum kau membunuhku, izinkan aku pamit pada orang tuaku. Mereka bunuh diri setelah melaporkan Ayah dan Bundamu ke polisi. Mereka tak kuat menahan rasa bersalah dalam hati mereka. Aku pun rasanya ingin mati. Tapi aku mendapat sebuah harapan untuk hidup. Sekarang, aku siap untuk mengakhir harapan itu.”
Aku mengangkat pisau yang kuambil dari saku celanaku. Aku berteriak berlumur tangis “KAU DAN ORANG TUAMU MENGHANCURKAN HARAPANKU, VANKA!!! MENGAPA KAU TAK MATI BERSAMA DENGAN MEREKA? MENGAPA KAU TEGA MENUNJUKKAN BATANG HIDUNGMU DI HADAPANKU?!!!!!” Aku menusukkan pisauku ke tanah basah di mana Vanka terduduk. Aku menangis meraung-raung. Sakit hati yang selama ini tumbuh subur seolah-olah terangkat dari benakku. “Aku benar-benar ingin membunuhmu Vanka, tapi kenapa aku tak bisa!!!!!!”
“Naray” Panggil seseorang. Aku berharap aku sedang berhalusinasi. “Naray!”, “Naray!!” Suara bass dan alto itu saling bertautan. Bagaikan api kejatuhan salju, begitu mengejutkan rasanya mendengar suara kedua orang itu.
“Ayah!!!!! Bunda!!!” Seruku histeris. Aku berbalik dan mendapatkan mereka tepat di belakangku sedang tesenyum.
“Satu-satunya harapan Bunda adalah bahwa kau masih hidup dan Tuhan mengabulkannya.” Ungkap Bunda yang memeluk erat Naray. Ayah yang tak mampu berkata-kata hanya nangis sambil membelai rambut anak gadisnya yang sudah lama tak ditemuinya itu.
“Harapan Bunda dan Ayah telah terwujud. Jangan merusak harapan orang lain ya Naray, Vanka berhak untuk hidup. Ia sudah tak memiliki kedua orang tuanya.” Sahut Ayahnya di sela isak tangis.
Naray menginterupsi kejadian haru itu dengan berlari menyambar Vanka. Naray memeluk Vanka sambil mengucapkan terima kasih. Vanka tak layak menerima balasan dendam dari Naray. “Kau boleh tinggal bersamaku dan kedua orang tuaku.”
Vankan manggut-manggut dan mendekap Naray lebih erat. “Terima kasih Naray, kau adalah harapanku untuk hidup. Terima kasih.”


Comments

Popular posts from this blog

New normal Dicetuskan, Masyarakat Sudah Disiapkan?

"Kiri, Pak!" [PART.1]

Her Name Yola