Langkah-Langkah Sederhana untuk Melawan Korupsi

sumber foto: nairaland.com

Hai! Aku mau publikasiin esai yang sudah pernah aku buat untuk tugas mata kuliah English for Journalism di semester 7 tahun 2020. Esai aslinya berjudul "A Simple Act to Fight Corruption" isinya memang berbahasa inggris karena kebutuhan tugas yang mengharuskan begitu, tapi yang akan aku publikasikan berbahasa Indonesia dengan sedikit suntingan. Tujuan esai ini aku publikasiin yaitu sebagai tambahan informasi tentang korupsi yang telah membudaya di Indonesia dan untuk apa kita sebagai anak muda harus peduli dengan isu tersebut. 

Korupsi merupakan tindakan penyalahgunaan kewenangan atau jabatan yang dapat merugikan negara atau pihak lain. Dilansir dari liputan6.com pada Minggu (6/12) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Juliari Batubara, Menteri Sosial Republik Indonesia sebagai tersangka kasus korupsi bantuan sosial (bansos) Covid-19. Bahkan dalam keadaan sulit seperti Covid-19, masih ada pejabat negara yang tega melakukan tindak korupsi. Ironinya, banyak koruptor datang bukan dari kalangan orang tidak mampu, melainkan dari kalangan para pejabat negara, yang mana sudah memiliki kekayaan dan kekuasaan. Berbagai undang-undang serta organisasi pemberantasan korupsi, misalnya KPK, telah dibuat dengan tujuan memberi efek jerak pada pelaku. Namun kenyataannya, payung hukum pun tak dapat membendung derasnya kasus korupsi di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa hukum seperti tidak berarti di mata para koruptor, karena ternyata korupsi telah membudaya di Indonesia. 

Terdapat banyak budaya di Indonesia yang dapat menyuburkan tindak korupsi, namun dalam esai ini saya hanya akan menjelaskan dua budaya. Pertama adalah budaya mengedepankan harmoni. Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Salah satu ciri masyarakat agragris adalah mengedepankan harmoni sehingga banyak orang menghindari konflik agar harmonisasi dan kebersamaan tetap terjaga. Hal tersebut membuat banyak orang Indonesia memilih diam saat mengetahui orang terdekatnya (keluarga, kolega, atasan) melakukan pelanggaran. Padahal, sudah seharusnya orang yang melakukan pelanggaran mendapat sanksi sosial, bukan malah didiamkan. 

Berikutnya adalah budaya kleptokrasi. Kleptokrasi berasal dari kata kleptomania yang berarti kebiasaan mencuri yang bukan disebabkan oleh faktor kesulitan ekonomi. Mustofa (dalam Pujaastawa, bahan ajar Antropologi Korupsi 2020) menjelaskan bahwa ketika korupsi di Indonesia serius, apalagi dilakukan oleh birokrasi maka dapat dikatakan bahwa kleptokrasi merupakan ciri korupsi di Indonesia. Ciri lain dari kleptokrasi adanya persengkongkolan antara pengusaha dan penguasa untuk memperoleh keuntungan dengan cara merugikan negara. Penguasa yang melakukan korupsi tidak bisa menjalankan hal itu sendiri, mereka pasti melibatkan bawahannya. Ketika bawahannya tahu bahwa atasannya terlibat dalam tindak korupsi dam memilih diam daripada jabatan kerjanya terancam atau berkonflik dengan atasannya. Kleptokrasi mengakibatkan sebagian orang menganggap tindak korupsi merupakan budaya yang lumrah dan membuat korupsi sulit diberantas. 

Menurut saya perubahan tidak selalu dimulai dengan langkah yang besar. Budaya-budaya di atas dapat dihilangkan perlahan dengan satu langkah kecil yaitu membangun budaya berani mengutarakan pendapat. Berani berbicara mengenai hal yang salah meskipun pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang terdekat kita, misalnya keluarga. Kita tidak boleh malas mengungkapkan kebenaran. Ketika kita berani berbicara atau mengungkapkan kesalahan si pelanggar, kita telah berperan dalam mematahkan bahkan rantai korupsi di Indonesia, sehingga aset negara atau bantuan yang negara berikan dapat benar-benar disalurkan kepada orang yang membutuhkan. 

Untuk membentuk budaya tersebut dibutuhkan kerjasama dari semua orang. Misalnya, saat sedang diskusi pelajaran tertentu di kelas, ada seseorang yang ingin mengungkapkan aspirasinya, sudah seharusnya kita memberikan suasana kondusif agar orang tersebut percaya diri dalam berpendapat. Jika ada pebedaan pendapat, hal tersebut dapat dimusyawarahkan bersama-sama untuk mencari jalan keluarnya. Mari bersama ciptakan lingkungan yang kondusif dan saling menghargai saat orang mau berbicara, meskipun tak selamanya pendapat orang lain sama dengan kita.

Comments

abuzaki said…
Bersyukur masih menulis di blog, gmana kabar de
Christopher Deo said…
Semangat trs nulisnya cintaku

Popular posts from this blog

JANGAN PUNYA ANAK DULU KALAU?

New normal Dicetuskan, Masyarakat Sudah Disiapkan?