Naray (p. 1)
Namaku Ekshita Naray Suteno. Namaku berasal dari bahasa
Sansekerta, kecuali Suteno-nya, ya itu nama akhir dari nama Ayah. Namaku kalau
diartikan adalah harapan yang tak terpatahkan. Ekshita artinya tak terpatahkan,
sedangkan Naray artinya harapan. Bunda selalu menceritakan arti namaku di masa
taman kanak-kanakku, sebelum aku tidur. Perasaan yang muncul setelah diberi
tahu tentang arti namaku adalah antusias yang melejit. Setelah memberi tahu arti
namaku Bunda selalu bilang bahwa “suatu hari nanti kamu akan menjadi harapan
bagi setiap orang, khususnya bagi pangeran yang kelak menantimu” untuk seorang
anak TK, hal itu merupakan kalimat
dongeng yang paling indah. Sejak mendengar kalimat itu aku selalu antusias
bangun pagi, aku selalu siap menghadapi hari, aku selalu siap menepis kekalahan. Sampai pada
saat di mana aku memandang kenyataan meruntuhkan semua kalimat indah yang
dituturkan Bunda semasa aku kecil, hidupku hancur.
“Naray!” seru perempuan berbadan tegap. Rasanya telingaku
hampir lepas dari tempatnya ketika mendengar suara jelmaan jin itu. Aku
pura-pura tuli sambil berjingkat-jingkat di tengah lapangan, membiarkan hujan
menyerbuku. Ini namanya hidup.
Suara entakan kaki semakin jelas ketika aku loncat-loncat
karena hujan semakin meliar. Deraslah
terus! Jangan berhenti, sayangku! Bisikku pada tetesan air yang jatuh dari
langit. Mengapa hujan seindah ini? Mengapa setiap hari tidak musim hujan saja?
Hidupku jauh lebih baik bersama dengan hujan daripada manusia.
“Kau gila? Cepat ganti bajumu lalu kembali ke sel.”
Bentak perempuan bernama Aminah. Ingin sekali aku merobek badge namanya dari seragam polwan kebanggannya itu. Dia pikir dia
siapa bisa menyuruhku seenaknya?
Aku tetap loncat-loncat. Aminah dengan matanya yang siap
menerkamku tak lepas memandangiku. Aku berhenti sejenak kemudian menarik
pergelangan tangannya, matanya semakin buas menatapku. Aku loncat-loncat lagi
ditemani polwan menyebalkan itu sekarang. Tak sulit untukku membuat hatinya
mendidih.
“Lepaskan Naray! Ayo ikut aku!” Aminah memijit-mijit
sendi-sendinya. Aku pun mengedikkan bahu dan berlalu dari hadapannya. “Naray!
Kau lihat saja nanti! Kau pikir kau akan lepas dari genggamanku?!” pekik Aminah
seraya berjalan dengan pincang. Oh sungguh aku harap kepincangan yang
dialaminya permanen.
*****
Aku meletakkan bungkusan kuaci yang sedari tadi menjadi
penghiburku di ruang isolasi ini. Aminah benar-benar membuktikan perkataannya.
Ia melaporkanku pada atasannya sehingga aku berada di tempat terkutuk ini.
Sial. Kuelus ubin ruang isolasi ini. Baiklah, kuakui aku sangat senang berada
di sini daripada di sel bersama para tikus-tikus negara serta pemakai di sana.
Pikiranku tiba-tiba terkunci akan masa laluku. Kronologi
terjeblosnya aku dalam neraka dunia ini. Aku si murid berprestasi dari TK
sampai SMA berhasil meraih cita-citaku yaitu masuk penjara. Ya, aku
bercita-cita menjadi seorang nara pidana. Cita-cita itu tercipta akibat orang
tuaku ditangkap oleh polisi karena dugaan pembunuhan berencana. Setahuku,
tetangga sebelah rumahku lah yang melaporkan Ayah dan Bunda. Sejak saat itu aku
menjadi gelandangan di jalanan.
Beruntungnya
seorang yang dermawan memungutku dan menyehkolahkanku hingga pendidikan
menengah atas. Predikat murid berprestasi hanya topengku agar orang-orang tak
mengetahui hasratku yang sebenarnya. Akhirnya, ketika acara graduation aku mencuri mobil orang tua
angkatku dan menjualnya ke pasar loak. Tindakan perdana yang membawaku
menyentuh impianku. Ketika masuk ke dalam penjara, hal pertama yang kulakukan
adalah mencari wajah orang tuaku, tetapi hasilnya nihil. Sampai sekarang aku
masih belum bisa menemukan mereka, padahal besok adalah hari bebasku dari
kurungan besi ini.
Air asin hangat meluncur dari pipi tak sengaja kuisap.
“Hei Naray, mengapa kau sedih? Besok adalah hari kebebasanmu! Aku harus
merayakannya dengan cara membuat kejahatan yang lebih besar. Ayah, Bunda,
tunggu Naray ya!” aku bercakap dengan sang ubin yang setia.
*****
“Dahhhh Aminah! Sampai ketemu di kuburan ya!” seruku pada
Aminah ketika melangkahkan kaki keluar dari lapas.
Aminah menggeleng-gelengkan kepala sembari menjawabku,
“cepatlah kembali bocah tak tahu diri! Aku tak akan lelah menantimu hingga kau
membusuk!” aku tertawa tak membalas lagi. Aku tahu cinta Aminah padaku terlalu
besar sehingga ia tak rela membiarkanku bebas, sebenarnya itu hanya
hipotesisku. Ya sudah lah ya.Bunda, aku
siap bertemu pangeranku sekarang! Batinku berulah lagi.
Langkahku terhenti oleh sepasang kaki kuning langsat di
hadapanku. Aku memiringkan sedikit kepalaku untuk menatapnya, barangkali ia
pangeran yang kudambakan sejak aku bebas tadi. “Hai, Naray! Ingat aku?” sapa
manusia sok ramah itu. Tanganku tiba-tiba gatal, kurasakan desakan ingin
mencakar manusia ini dari dalam hatiku, tetapi otakku masih memerintahkan
tanganku untuk tidak nakal dengan baik.
“Kau? Sepertinya familiar.” Aku berusaha normal.
“Ya, aku Vanka. Tetanggamu dulu!” gadis di hadapanku ini
terlihat sumringah.
“Ah si anak para setan.” Tanggapku cepat. Aku menelitinya
dari kaki hingga kepala. Ia tumbuh dengan sempurna. Mengapa para setan memiliki
anak bak malaikat? Ini tak adil.
Comments