JANGAN PUNYA ANAK DULU KALAU?
Pixabay.com/ Pexels |
Pagi ini aku bangun
seperti biasa, tetapi ketika masih berusaha mengumpulkan nyawa, tiba-tiba
terdengar suara teriakan dari luar kosan. Mata yang masih pliket langsung
terbelalak. Aku pikir gempa, ternyata ada seorang Ibu sedang mengajari anaknya belajar. Kuintip sedikit kondisi di luar dari
balik pintu kamar. Sang Ibu duduk di atas kursi dan anaknya ada di bawah berkutat dengan LKS di tangannya. Aku berusaha
menyimak sang Ibu yang terus menerus mengajari anaknya dengan suara toanya. Sang
Ibu mendikte jawaban untuk si anak. Si anak menyalin perkataan si Ibu sambil
menulis.
Aku menggeleng-gelengkan
kepala, nggak habis pikir. Bukan kali pertama aku menemukan si Ibu
teriak-teriak, nggak tahu perkara apa yang sedang diurus sampai harus
teriak-teriak, atau memang si Ibu bersuara keras? Masih belum bersih dari
pencemaran suara sebelumnya, aku malah dikejutkan kembali dengan suara si Ibu
yang menggelegar. Haduh, batinku sambat. Kali ini ia memarahi anaknya
karena kayaknya si Anak menjawab soal dengan asal-asalan, padahal si Ibu sudah
mendikte jawabannya. Ibu itu sampai menanyakan keberadaan otak si Anak. Kurang lebih
seperti ini, “otakmu itu di mana?” dan bla bla bla. Lah, aku makin kaget, ini
yang harusnya ditanyain keberadaan otaknya ya si Ibu bukan anak. Kocak bener
nih manusia pagi-pagi bikin dongkol aja yakan.
Hmm. Aku langsung
mengingat kejadian beberapa minggu lalu. Si anak yang dimarahi si Ibu adalah
anak yang suka main ke kamar kosanku bersama bocah-bocah lainnya. Sebut aja
nama anak itu Dadang ya. Biasanya Dadang dan kawan-kawannya dateng ke kamarku dengan
tujuan belajar dan mostly sih main :p
ya aku terima aja selagi nggak ganggu aku pas kerja.
Waktu ngajarin Dadang,
Dadang susah banget disuruh baca. Ada aja alasan buat nggak baca, entah dia
guling-guling di karpet, atau malah membaca soal latihan lain, main miniatur spiderman, banyak deh kegiatan yang
sengaja dia lakuin supaya nggak membaca. Lanjut, aku minta dia kerjain sendiri
dulu LKS yang dia bawa. Terus dia dikit-dikit nanya. Aku nggak masalah dengan
pertanyaan yang bener-bener ngusik rasa ingin tahunya, tapi si Dadang nanya
jawaban mulu :”) gimana nggak kesel. Terus masih dalam “sabar mode on” aku
minta Dadang buat nyari jawaban dengan cara membaca teks yang ada di halaman
sebelumnya. Aku nggak mau langsung ngasih jawaban secara cuma-cuma tanpa Dadang
berusaha, aku pengin dia paham sama apa yang dia kerjain, bukan hasilnya bener
atau salah yang dia kerjain. Nggak tahu aku yang jahat atau gimana pokoknya aku
nerapin cara belajar itu sampai si Dadang bosen dan kabur pulang.
Temenku dan papaku yang
kala itu tahu ceritanya cuma nyuruh aku sabar dan memaklumi tingkah si Dadang. Pas
aku denger dan lihat langsung tadi pagi cara Ibunya Dadang ngajarin Dadang, aku
jadi kasihan sama Dadang. Aku mikir ini udah kebiasaan dikasi jawaban terus
sama Ibunya, jadinya dia males nyari jawaban sendiri, padahal nggak setiap masalah
yang ada di hidupnya dia bakal dapet solusi atau bahkan diselesaikan oleh
orangtuanya kan?
Di masa pandemi ini
pasti berat bagi banyak orang khususnya dalam menjalankan pendidikan dan
aktivitas lainnya dalam waktu yang bersamaan di rumah. Untuk anak yang belajar
di rumah, hal tersebut sangat berat karena biasanya mereka belajar dan bermain
bersama guru dan teman-temannya di sekolah, lalu tiba-tiba harus belajar di
rumah, tidak bisa berinteraksi langsung seperti biasanya. Begitu juga bagi
orangtua yang sedang work from home,
berpartispasi dalam study from home
si anak jelas menjadi hal baru. Mereka harus menguras tenaga ekstra untuk
mengawasi dan mengajari anaknya. Belum lagi anak-anak kan tingkahnya banyak
banget dan sulit untuk diprediksi, nggak jarang bikin ortu malah jengkel. Yang perlu
diingat, sekesel-keselnya sama anak (bagi yang punya), sebagai orangtuanya tetap harus menerapkan parenting atau pola asuh yang sehat. Selain
demi masa depan anak, itu juga bentuk tanggungjawab yang memang harus dilalui olah orangtua. Menurut National Academy of Sciences menjelaskan
empat tanggung jawab utama bagi orang tua: menjaga kesehatan dan keselamatan
anak, meningkatkan kesejahteraan emosional mereka, menanamkan keterampilan
sosial, dan mempersiapkan anak secara intelektual.
Parenting
yang sehat mungkin bikin ortu harus
banyak belajar, TAPI manfaat yang didapatkan nantinya bukan hanya untuk anak lho. Malah menurutku, kalau ortu
menerapkan pola parenting sehat itu
akan mengurangi tenaga ortu di masa depan untuk mengarahkan anaknya, karena
nantinya karakter anak yang terbentuk dari pola parenting yang baik hasilnya akan baik.
Oke mari kita lihat
dulu bentuk unhealthy parenting/ pola
asuh yang nggak sehat. PsychologyToday dalam artikel yang berjudul “Parenting: How
Parenting Affects a Child's Development” menjelaskan,
“Two well-known examples of overparenting styles include
"helicopter parenting," in which children are excessively monitored
and kept out of harm's way, and "snowplow parenting," in which
potential obstacles are removed from a child's path. Both can negatively impact
a child's later independence, mental health, and self-esteem.”
Jadi aku terjemahin
secara bebas ya, dua contoh parenting/
pola asuh yang berlebihan termasuk “pola asuh helikopter” yaitu anak-anak
dimonitor dan dijaga berlebihan dari hal-hal yang merugikan, dan “pola asuh snowplow” yang mana potensi/ kemungkinan
penghambat-penghambat yang ada di jalan (kehidupan) anak disingkirkan. Keduanya
memiliki dampak buruk bagi kemandirian anak, kesehatan mental, dan penilaian/
penghargaan terhadap diri sendiri.
Dari dua contoh pola asuh di atas, aku nggak bermaksud untuk mengklasifikasikan Ibu Dadang ke dua kategori tersebut, karena pastinya perlu observasi lebih lanjut untuk mengidentifikasi Ibunya si Dadang yang mana harus dilakukan oleh ahli jiwa/ psikolog. Di sini aku menyoroti bahwa unhealthy parenting bener-bener berdampak buruk bagi kehidupan sang anak kelak. Kita bisa pelajari bersama bagi yang belum atau sudah menjadi orangtua tentang pola asuh yang sehat untuk anak-anak. Masih dalam laman yang sama namun dengan artikel berbeda “No, Don't Be a Helicopter Parent. But Be Involved.”
Parenting
styles/ gaya pola asuh yang diperkenalkan oleh psikolog
pengembangan, Dr.Diana, memberi tiga konsep parenting
styles yaitu:
1.
Authoritarian/ otoriter:
orangtua ini memiliki banyak tuntutan tetapi rendah dalam responsivitas. Mereka
cenderung kasar dan kurang hangat.
2.
Permissive / permisif:
orangtua ini memiliki tuntutan rendah
tetapi responsif tinggi. Mereka mungkin dipandang sebagai orantua yang "memanjakan"
memanjakan anak-anaknya.
3.
Authoritative/ autoritatif:
kadang disebut sebagai pola asuh demokratis dan dianggap sebagai pendekatan
"Goldilocks". Orangtua ini cenderung menuntut dan responsif. Dengan
demikian, mereka terlibat, memberikan ekspetasi-ekspetasi, menetapkan batasan,
dan juga memberikan kehangatan, penerimaan, dan dorongan semangat.
Dari definisi-definisi
konsep di atas parenting autoritatif
pastinya banyak membawa dampak yang lebih baik untuk kehidupan anak di masa
depan. Mungkin seiring berjalannya penelitian, pengetahuan, dan teknologi yang
semakin berkembang, akan ditemukan jenis-jenis lainnya. Untuk kali ini, bisa
disimpulkan parenting autoritatif
lebih baik karena orangtua cenderung terlibat tetapi tidak terlalu memanjakan
anak ataupun menuntut anak berlebihan. Pasti perlu waktu bagi orangtua atau
kita yang akan menjadi orangtua untuk terus belajar menyeimbangkan antara
permintaan dan respon terhadap anak. Yang paling penting disadari adalah setiap
anak berbeda dan unik. Sebagai orang yang lebih tua aja pasti nggak suka
dipaksa ngelakuin sesuatu, sama halnya dengan anak-anak. Lalu, daripada
memarahi anak yang mana menguras tenaga dan emosi, mengapa nggak bertanya
kepada anak apa yang ingin ia lakukan? Di dalam aktivitas yang ingin anak lakukan
itu orangtua bisa menyisipkan edukasi-edukasi yang berguna agar anak tetap
belajar tapi bahagia juga.
Jadi, jangan punya anak dulu kalau nggak siap
dengan tanggung jawab menjadi orantua. Ribet kan jadi orangtua? Memang cut! Jadi, masih pengin cepet-cepet
nikah dan punya anak? :p
Comments