Tinky's Shoes




“Pooh!” Seru Tinky. Orang yang dipanggil tak menghiraukan. Dengan langkah berat Tinky berjalan menuju sasaran. Ia sekarang tepat berada di samping Pooh, teman yang paling menyebalkan menurutnya.
“Woi! Denger nggak sih kalau dipanggil?” Tinky bergeser sedikit, sekarang posisinya berada di depan Pooh. Pooh tampak tak tertarik berbicara pada Tinky, ia hendak beranjak dari tempat teramannya, Tinky merentangkan tangannya lebar-lebar. Pooh memilih menyerah dan duduk kembali dengan wajah ditekuk. Tinky mondar-mandir seperti setrikaan di hadapan Pooh, menunggu seorang Pooh yang tak kunjung membuka suara. Pikiran Tinky semakin kalut melihat sikap Pooh yang aneh menurutnya.
Gulungan kertas lecek melayang ke kepala Pooh. Pooh memegang kepalanya sambil meringis kesakitan. Serangan dadakan dari Tinky itu menimbulkan penantian Tinky berakhir. “Apa sih?! Aku males latihan drama.Aku nggak suka akting, Tink! Kamu paham nggak sih?” Pooh lepas kendali, wajah marah yang dipancarkan Tinky berubah menjadi sendu. Suara Pooh melembut “Tink, please jangan maksain aku buat ngelakuin drama ini.”
Tinky terdiam. Ia merenung, apa ia terlalu memaksakan Pooh? Ia melakukan semua ini agar ia dapat bersama Pooh. Tinky sepertinya baru peka, sepertinya Pooh tak menyukai caranya. “Hmm… jangan susul aku!” Tinky berlari kencang meninggalkan Pooh yang terbengong-bengong. Seusai kepergian Tinky, Pooh merapikan rambutnya lalu bangkit berdiri. Ia memutuskan untuk pulang saja. Siapa juga yang mau nyusul kamu? Dasar PD! ujar Pooh dalam hati.
*****
“Bunda! Pooh nyebelin banget sih! Masa dia bilang, dia nggak mau ikut drama padahal kan tampil di Neon Park tinggal dua minggu lagi.” adu Tinky pada sang Bunda yang sedang memasak. Ya, Tinky kalau ingin mencurahkan hatinya, ia pasti langsung melakukannya tanpa melihat situasi dan kondisi, tetapi sang bunda sudah maklum dengan anak gadisnya yang sudah remaja itu.
Bunda mengecilkan api kompor sebentar. “Tinky sayang, kamu nggak bisa maksain Pooh kalau dia nggak suka.” Ucap Bunda penuh perhatian sambil sesekali menengok masakannya di atas kompor.
Tinky menggerutu pelan. Apakah Bunda membela Pooh? Harusnya Bunda tak melakukan itu. “Ahh Bunda! Pokoknya Tinky mau Pooh tetep ikutan Drama. Titik.” Tinky melenggang pergi ke kamarnya. Bunda menggeleng-gelengkan kepala melihat betapa childish-nya anak kesayangannya.
Tinky mengambil sepatu kanvas yang masih bersih dari cat warna. Kebiasaan Tinky kalau lagi marah, melukis sepatu kanvas. Ia sudah memiliki ratusan sepatu kanvas yang ia lukis sendiri dan di tata di sebuah lemari khusus. Bayangkan betapa seringnya ia marah dan melampiaskannya ke sepatu kanvas tak berdosa itu. Seraya Tinky melukis, bayang-bayang Pooh menyusup ke otak Tinky. Tinky sontak kesal kemudian melemparkan sepatu kanvas bagian kanan yang baru ia lukis sekenanya.
“Kring, kring, kring!!!!” Ponsel milik Tinky berdering.
“Halo!” Sapa Tinky dengan nada tak bersahabat.
“Tinky, aku habis masak kue loh! Mau nyobain nggak? Kalau mau kamu mesti nyampe di sini 15 menit dari sekarang.” suara riang Aubrey memenuhi telinga Tinky.Aku bisa congek kalau ngedenger suara si alien satu ini lebih lama lagi, ujar Tinky pada dirinya sendiri. Tinky memutuskan sambungan telepon.
*****
Aubrey membuka pintu rumahnya setelah suara bell berdering terus menerus dan sukses memekakkan telinganya. Melihat wajah sahabatnya di sana membuat Aubrey berseri-seri. Tinky memeluk Aubrey lalu masuk ke dalam rumah. Aroma brownies kukus pandan menggelitik hidung Tinky, air liurnya berdesakan ingin keluar.
“Nih.” kata Aubrey seraya menyodorkan sepotong brownies dengan asap yang masih mengepul di atas piring melamin bermotif bunga kepada Tinky.
Tinky menerimanya dan langsung melahap brownies tersebut kurang dari semenit.
“Jadi ada apa antara kamu dengan Pooh?” tanya Aubrey yang dari tadi melihat sahabatnya hanya diam. Tinky yang ditanya hanya mengangkat alis, pura-pura tak mengerti. “Wajahmu menyiratkan segalanya, lebih baik kamu certain sekarang.”
Tinky meraih air putih di samping piring kuenya kemudian meneguknya sampai kandas. Tinky memegang tangkai gelas itu sambil melamun. “Well,dia nggak mau ikut drama. Padahal pementasan di Neon Park tinggal dua minggu lagi. Aku bisa gila kalau begini.” Tinky mendengus pelan mengingat kenyataan yang ia alami.
“Loh, kok bisa? Bukannya pertama kali kamu tawarin, dia langsung setuju? Iya kan?” Aubrey menggaruk-garuk kepalanya, ia sangat bingung dengan tingkah Pooh. Mengapa tiba-tiba tak mau ikut drama?
“Iya dia setuju. Tapi sekarang, entahlah dia berubah pikiran.” Tinky meletakan gelas itu kembali ke atas meja, ia takut gelas itu akan retak di tangannya saking ia kesalnya dengan Pooh.
Aubrey memotong brownies utuh yang lainnya dan meletakan di piring Tinky lagi. Kali ini nafsu makan Tinky menguap begitu saja. Tinky terlalu sibuk dengan pikirannya. Sepertinya ia butuh refreshing. Aubrey yang melihat perubahan nafsu makan Tinky langsung peka bahwa sahabatnya itu sedang bad mood.
“Temenin aku belanja yuk!” Ajak Aubrey bersemangat.
Tinky menggeleng-gelengkan kepala. Tinky bertopang dagu, masih menikmati lamunannya.
Tangan Aubrey mendorong satu lengan Tinky, membuat lamunan Tinky buyar seketika. “Aku beliin sepatu kanvas deh.” Bujuk Aubrey.
“Nggak mau.”
“10 pasang sepatu kanvas loh? Gila, jarang-jarang aku baik gini.” Aubrey mengerlingkan matanya. Tinky langsung menolak dengan sekali kibasan tangan. Wajah Aubrey merengut. Biasanya bujukannya ini selalu ampuh, tapi kenapa sekarang tidak seperti biasanya?
“20 pasang! Deal or no deal?” Tukas Tinky tanpa bisa ditawar. Aubrey menjitak kepala Tinky otomatis. Mereka berdua tertawa bersama kemudian memutuskan untuk pergi saat itu juga.
*****
“Tinky buruan! Bintang udah nunggu dari tadi loh!” Teriak Bunda dari arah ruang tamu. Bintang-teman Tinky sibuk memencet-mencet ponselnya, sepertinya ia sedang bermain game untuk mengenyahkan kebosanan. Karena Tinky tak menjawab, darah Bunda mulai mendidih. “Bintang, tante tinggal bentar ya.” Bintang menggangguk sopan.
Tinky sedang menyisir rambut hitamnya ketika Bunda sampai di depan pintu kamarnya. Tinky menoleh ke arah pintu dan meringis. “Hehehe, Bunda”
Bunda menghampiri Tinky lalu menjewer telinga kiri putrinya. Tinky mengusap-usap telingannya yang memerah. “Kamu tuh ya, hobi banget telat. Udah tahu mau gladi kotor.”
“Ya maaf Bunda sayang. Nih udah beres, tinggal masang sepatu doang.” Tinky mempercepat langkahnya menuju lemari khusus sepatu-sepatu kanvasnya.
“Oh iya, kemarin Pooh ke sini.” Perkataan Bunda barusan membuat Tinky menghentikan aktifitasnya saat itu. Tinky menoleh menatap Bunda penuh tanda tanya. “Nanyain kamu, terus bunda tinggal masak, tahu-tahu pas bunda balik kayaknya dia pulang sih.”
Rasa yang tak ingin dirasakan oleh Tinky muncul perlahan di dalam hati Tinky. Rindu. Rindu yang selalu mengusik perasaanya selama ini berakar di dalam hatinya. Ia sampai kewalahan memusnahkan perasaan itu dari hatinya. Ia sangat amat merindukan Pooh. Seorang cowok yang tidak pernah membuatnya menangis kecuali hari ini. Pooh berubah. Sebulir air mengucur dari mata bundar Tinky. Ia buru-buru mengelap menggunakan jari telunjuknya. Tinky bergegas memasang sepatu lalu pamit pada Bunda. Ia berangkat bersama Bintang.
*****
Pooh dan Aily berjalan di taman. Sudah menjadi kebiasaan mereka jalan-jalan sore ke taman ini. Pooh senang melihat Aily tersenyum. Pooh teringat sesuatu, hari ini adalah hari ulang tahun Aily. Ya pasti Pooh benar, sekarang tanggal 20 April 2006. Pooh merogoh saku celananya, ia merasakan lembaran kertas di sana. Pooh meminta izin pada Aily untuk menunggunya sebentar, Aily memberikan izin. Selang beberapa waktu, Pooh kembali dengan balon berwarna merah di tangannya.
“Selamat ulang tahun Aily!” Seru Pooh kesenangan sambil memberikan balon merah itu pada Aily.
Aily tak kuasa menahan tawa, ia sangat bahagia. “Pooh, kamu adalah cowok terbaik yang pernah aku temui.” pernyataan spontan Aily membuat pipi Pooh merah bersemu.
“Kamu punya keinginan apa di hari yang spesial ini?” Tanya Pooh penasaran. Aily tak menjawab, sepertinya masih berpikir. Tiba-tiba Pooh meraih tangan Aily. Pooh menggandeng Aily, Aily menatap Pooh sambil tersenyum. Mereka tetap bergandengan tangan sampai Aily mendengar sesuatu.
“Pooh kamu denger itu?” Aily melepaskan genggaman tangan Pooh dan menepikan rambutnya ke belakang telinga. Ia mendengarkan dengan saksama. Pooh tak menjawab, ia juga sedang berusaha mendengarkan apa yang didengarkan Aily. “Suara orang menangis.” Simpul Aily. Aily berjalan mengikuti suara itu diikuti Pooh di sampingnya.
Aily dan Pooh menemukan seorang gadis di bawah pohon menangis terseduh-seduh. Aily menghampiri gadis itu, sedangkan Pooh tetap berdiri di tempatnya semula. Dari kejauhan Pooh memperhatikan Aily seperti menenangkan gadis itu, tetapi gadis itu tetap menangis. Pooh melihat Aily memberikan balon berwarna merah yang ia berikan tadi telah diserahkan Aily pada gadis tersebut, waktu Pooh hendak berlari menuju Aily, ia mengurungkan niatnya karena melihat Aily sudah berada di atas pohon. Pooh mulai panik, ia takut sesuatu yang buruk terjadi pada Aily.
“Aily kamu ngapain di atas pohon? Turun!!!!” pekik Pooh dari jauh. Sayangnya, suara Pooh terbawa angin dan pastinya Aily tak dapat mendengar perkataan Pooh dari atas pohon.
Gadis yang dikuncir dua itu masih terduduk di tanah, di bawah pohon sambil memberikan arahan pada Aily. Tangannya terkibas ke arah kiri, tanda menunjukkan Aily untuk berpindah ke batang pohon sebelah kiri. Beberapa lama kemudian wajah Aily tampak sumringah dengan sepatu kanvas di tangan kanannya, sedangkan tangan kiri Aily memeluk erat batang pohon. Aily mengacung-acungkan sepatu itu ke gadis di bawah pohon dan ke arah pooh. Gadis di bawah pohon itu berhenti menangis dan bersorak kegirangan. Pooh yang melihat betapa tulusnya pengorbanan Aily tersenyum lebar sambil mengangkat kedua jempolnya untuk Aily.
Sekarang Pooh merasa jauh lebih lega, ia tak menunda untuk menjemput Aily, ia bangga kenal dengan cewek seperti Aily, sebelum ia sampai di tempat Aily dan gadis yang tak dikenalnya itu, ia mendengar jeritan histeris disusul badan Aily yang melayang dari atas pohon ke tanah. Semua orang di taman itu mengerumuni tempat terjatuhnya Aily. Pooh menjerit tak terima.
Pooh menggenggam tangan Aily, berusaha membangunkan Aily yang matanya tertutup rapat-rapat. “Aily, bangun! Kamu jangan tidur dong! Kalau mau tidur di rumah aja.” darah dari kepala Aily mengalir ke tangan mungil Pooh. Pooh dapat merasakan kehangatan darah segar itu. Pooh mulai menangis, orang-orang dewasa di sekitar mereka sibuk menelepon ambulan.
Tangan mungil Aily bergerak perlahan. Pooh menyeka air matanya. “Pooh… Pooh…” Pooh langsung menggenggam tangan Aily, Pooh senang tapi ia gelisah, Aily berbicara sedangkan matanya masih tertutup. “Pooh. Keinginanku di hari ulang tahunku ini, jangan bikin gadis itu nangis lagi ya. Gadis yang memegang balon merahku itu namanya Tinky.” Pooh mengangguk cepat tanpa benar-benar paham apa yang dikatakan Aily.
Seorang wanita berjas putih dengan stetoskop dikalungkan di lehernya memegangi tangan Aily. Pooh bingung tetapi ia tetap membiarkan wanita itu. “Sudah terlambat. Gadis ini sudah meninggal.” Mendengar perkataan wanita berjas putih itu membuat Pooh marah. Ia memukul-mukul tangan wanita itu yang ternyata adalah seorang dokter.
“Aily nggak meninggal! Dokter bohong! Pergi sana!!!!” Pooh menangis sejadinya. Gadis yang memegang balon merah milik Aily tak kalah histerisnya, gadis itu juga menangis. Dokter itu memeluk dua anak SD yang rapuh tersebut. Seusai kematian Aily, Pooh merasa hidupnya takkan pernah sama lagi. Ia harus menuruti keinginan Aily.
“AILYYYYYY!!!!!” Teriak Pooh terbangun dari tidurnya. Tubuhnya basah kuyup oleh keringat. Ia melihat tangannya memeluk sepatu kanvas milik Tinky. Ia sangat merindukan Aily, seseorang yang ia kagumi sejak ia SD. Pooh memijat pelipisnya. Aily menyuruhnya untuk tidak membuat Tinky menangis, Pooh tidak tahu apakah kejadian beberapa hari lalu membuat Tinky menangis. Pooh merasa bersalah karena membuat Tinky sedih, Aily pasti akan sedih jika mengetahui kenyataan ini.Pooh menyadari ia melampiaskan kekesalannya pada Tinky. Ia masih tidak terima karena Aily meninggal saat Aily menolong Tinky untuk mengambil sepatu Tinky yang tersangkut di atas pohon.
Hari itu ketika Tinky memaksa Pooh latihan drama, Pooh sangat kesal karena ia menganggap Tinky seperti anak kecil. Tinky memaksakan semua apa yang diinginkannya harus tercapai, kemudian memori detik-detik Aily meninggal terputar di otak Pooh, membuat Pooh semakin kesal dan memilih mengacuhkan Tinky, makanya Pooh menolak untuk melakukan drama. Ia ingin menunjukkan pada Tinky, bahwa tidak semua keinginannya harus terwujud, Tinky harus belajar menghargai keinginan orang lain.
Pooh bangkit dari tempat tidurnya, ia beranjak ke meja belajarnya.Selesai menulis sebuah surat, surat itu dimasukannya ke dalam sepatu kanvas Tinky. Ia meletakkan sepatu itu dalam sebuah box berwarna merah. Ia mengantarkan box itu ke kantor pos untuk dikirimkan pada Tinky.
*****
Hari ini tanggal 20 April 2016. Tanggal yang ditunggu-tunggu oleh Tinky. Hari ini pementasan drama akan dilakukan. Ia merasa sangat gugup terhadap apa saja yang telah dipersiapkannya.Ia bolak-balik mematut diri di kaca sambil menghafal naskah drama dan juga melatih ekspresinya. Sesaat ia meremas perutnya, ia sangat grogi, ia membutuhkan sesuatu untuk menghilangkan itu dan biasanya hal yang bisa menghilangkan groginya adalah Pooh. Ya, biasanya Pooh selalu ada di sampingnya. Wajahnya mulai muram ketika  nama Pooh terlontar di otaknya. Tidak, ia tidak boleh sedih, ia menepuk-nepuk kedua pipinya untuk memberi semangat pada dirinya sendiri.
“Tinky!!” panggil Bunda, Tinky langsung menjumpai bunda yang ada di ruang tamu.
“Ada apa Bunda?”
“Nih ada paket. Bunda tinggal dulu ya.”
“Iya Bunda, makasih.”
Tinky mengamati box berwarna merah itu. Ia membuka tutupnya perlahan, entah mengapa membuka box ini terasa lebih mendebarkan daripada tampil drama nanti. Tinky menemukan sepatu kanvas miliknya ada di sana, sepatu kanvas yang 10 tahun selalu dipakainya, tapi sejak kematian Aily, seorang gadis yang sangat baik hati yang membantunya mengambil sepatu itu, ia jadi tak suka memakai sepatu kanvas itu, baginya itu seperti menggores luka masa lalu. Ia mengeluarkan sepatu kanvas itu dari box berwarna merah, selembar kertas putih ditemukannya di dalam sepatu, dengan cepat Tinky membuka kertas yang dilipat dua itu.
Jika kamu menerima paket ini pada tanggal 20 April, ingatlah bahwa hari ini hari ulang tahun Aily. Masih ingat Aily? Perempuan yang menolongmu sampai ia menghembuskan napas terakhirnya di depanmu. Rasanya perih sekali mengingat hal ini, apalagi bagiku.
Tinky menahan napasnya. Ada sesuatu yang berkecamuk dalam hatinya, membuatnya merasa bersalah. Ia enggan membaca tulisan itu lagi, tapi separuh hatinya menganjurkan untuk meneruskan.
Maafin aku karena aku waktu itu menolak untuk mengikuti drama. Aku sangat kesal dengan semua sikap kekanak-kanakanmu selama ini. Semua yang kamu mau harus kamu dapatkan, itu tidak baik Tinky J. Aku harap kamu bisa mengerti. Maafin aku mungkin selama ini bikin kamu sedih. Karena setiap melihatmu, aku selalu mengingat Aily, lebih tepatnya kejadian yang membuat Aily meninggal dunia, meninggal dunia artinya meninggalkanku untuk selamanya.Nanti di makam Aily aku akan mengakhiri semuanya. Perasaan marahku ke kamu, aku bakal berusaha buat ngelenyapin itu.Aku cuma minta kamu jangan nangis saat membaca surat ini. Tolong, jangan menangis. Semangat dramanya! Do all your best!
“Pooh kamu bodoh banget sih!” Tinky terisak pelan. “Mana bisa aku nggak nangis baca surat ini. Ternyata selama ini kamu nyimpan dendam ke aku? Huh.” Tinky merobek surat itu dan meninggalkan semua itu- sepatu kanvas dan surat begitu saja.
*****
Bunga kenanga, mawar, dan melati bertebaran di gundukan tanah kering di hadapan Pooh. Ia terus menaburkan bunga-bunga itu di makam Aily. Pooh mengusap nisan yang tulisannya mulai pudar itu. Ia memandangi kuburan itu dengan tatapan hampa. Aily sudah pergi dan sampai sekarang Pooh masih belum bisa terima dengan kenyataan itu. Pooh menahan dirinya agar ia tak menangis. Teriknya matahari menemani Pooh yang sedang menahan tangis. Lebih baik ia merasakan panasnya matahari daripada merasakan perihnya kehilangan seseorang yang sangat ia kagumi dan sayangi.
“Selamat ulang tahun Aily. Maaf aku nggak bisa bikin Tinky senang.”
Sengatan matahari tak dirasakan lagi oleh Pooh, ia melirik ke atas dengan mata menyipit. Tinky memayungi Pooh. Pooh tertunduk sebentar, ia tak tahu harus melakukan apa pada Tinky. Pooh berdiri, sekarang mereka saling berhadapan. Tinky terdiam, Pooh hanya bisa melihat kedua mata bundar Tinky berkaca-kaca. Pooh merasa dirinya terpaku, ia tak bisa melakukan apapun, melihat kedua mata bundar itu berkaca-kaca membuat tenaga Pooh tersedot habis.
“Kamu dendam ya sama aku? Kamu nyalahin aku atas kematian Aily? Karena itu kamu masih belum bisa mengasihi aku seutuhnya sebagai sahabat?” rentetan pertanyaan mengalir dari bibir tipis Tinky yang mengering. Pooh menggeleng-gelengkan kepala, ia tak sanggup melihat wajah sedih di hadapannya.
“Hari ini ulang tahun Aily kan? Selamat ulang tahun ya Aily.” Tinky memandangi nisan itu dengan penuh ketulusan. Tanpa ia sadari air mata menetes dari kedua pelupuk matanya. “Aku bela-belain dateng ke sini dan batalin drama aku cuma demi ngerayain ulang tahun kamu.” Tinky menelan ludah sejenak. Tinky memutar badannya, mengambil sesuatu dari balik badannya, sebuah balon berwarna merah dan sepatu kanvas. Pooh semakin membeku. “Ini semua barang-barang terakhir kamu sebelum kamu pergi. Balon berwarna merah adalah hadiah yang dulu diberikan oleh Pooh, kamu ingat kan?” Pooh meneteskan air mata, ia merasa bersalah membuat Tinky menangis seperti itu. “Yang ini sepatu kanvas. Gara-gara sepatu ini aku nangis, terus gara-gara kamu ngeliat aku nangis kamu nolongin aku sampai kamu manjat pohon demi ngambil sepatu yang harganya nggak sebanding sama nyawa kamu.”
“Kamu nggak perlu ngelakuin ini semua.” Pooh akhirnya berbicara.
“Aily, aku mau cerita. Pooh orang yang aku anggap sahabat aku ternyata nggak mengasihi aku. Aku sedih banget. Aku tahu pasti dia benci sama aku, soalnya karena aku, kamu meninggal.” Tinky tak menggubris ucapan Pooh. Ia terus membeberkan isi hatinya. “Memang sih selama ini aku nyebelin banget ke dia, dia juga nggak kalah nyebelinnya ke aku. Tapi kamu tahu Aily, cuma dia satu-satunya orang yang bisa membuat aku bahagia, yang bisa ngelenyapin rasa gugupku, yang membuatku berani menghadapi dunia. Aily, aku boleh kan bersahabat sama Pooh? Aku mohon.” Tinky tersungkur memeluk nisan Aily.
Pooh menarik tangan Tinky dengan kasar lalu memeluknya. Tinky menangis di bahu Pooh. Ia tak ingin sahabatnya menjauhinya. Pooh membelai rambut Tinky, Pooh dapat merasakan bahu Tinky yang bergetar hebat. Pooh sangat kecewa dengan dirinya sendiri. Ia sadar orang yang sudah meninggal tak mungkin hidup kembali, seharusnya ia memperhatikan Tinky, sahabat yang masih dimilikinya, sahabat satu-satunya yang ia punya.
“Tink, maafin aku Tinky. Aku salah. Selama ini aku hanya memikirkan kelakuanmu yang buruk, aku nggak sadar sebenarnya kamu sangat membutuhkan perhatianku. Maafin aku selama ini hanya memikirkan Aily. Sekarang aku sadar, kita nggak bisa mengubah masa lalu tapi kita bisa menata masa depan. Tetap jadi sahabatku ya! Jangan ninggalin aku. Aku janji aku bakal mengasihi kamu sebagai sahabat, aku janji nggak bakal ngebiarin kamu sedih lagi.” Pooh melepaskan pelukannya dan tersenyum lembut. Tinky mengangguk lemah. Tinky berkomitmen dalam hati, ia tak akan memaksakan keinginannya lagi, ia tak ingin kehilangan seseorang yang berarti dalam hidupnya. Ya, Pooh sahabatnya, ia tak ingin kehilangan sahabatnya.


Comments

Popular posts from this blog

New normal Dicetuskan, Masyarakat Sudah Disiapkan?

"Kiri, Pak!" [PART.1]

Her Name Yola