Tinky's Shoes
“Pooh!”
Seru Tinky. Orang yang dipanggil tak menghiraukan. Dengan langkah berat Tinky
berjalan menuju sasaran. Ia sekarang tepat berada di samping Pooh, teman yang
paling menyebalkan menurutnya.
“Woi!
Denger nggak sih kalau dipanggil?” Tinky bergeser sedikit, sekarang posisinya
berada di depan Pooh. Pooh tampak tak tertarik berbicara pada Tinky, ia hendak
beranjak dari tempat teramannya, Tinky merentangkan tangannya lebar-lebar. Pooh
memilih menyerah dan duduk kembali dengan wajah ditekuk. Tinky mondar-mandir
seperti setrikaan di hadapan Pooh, menunggu seorang Pooh yang tak kunjung
membuka suara. Pikiran Tinky semakin kalut melihat sikap Pooh yang aneh
menurutnya.
Gulungan
kertas lecek melayang ke kepala Pooh. Pooh memegang kepalanya sambil meringis
kesakitan. Serangan dadakan dari Tinky itu menimbulkan penantian Tinky
berakhir. “Apa sih?! Aku males latihan drama.Aku nggak suka akting, Tink! Kamu
paham nggak sih?” Pooh lepas kendali, wajah marah yang dipancarkan Tinky
berubah menjadi sendu. Suara Pooh melembut “Tink, please jangan maksain aku buat ngelakuin drama ini.”
Tinky
terdiam. Ia merenung, apa ia terlalu memaksakan Pooh? Ia melakukan semua ini
agar ia dapat bersama Pooh. Tinky sepertinya baru peka, sepertinya Pooh tak
menyukai caranya. “Hmm… jangan susul aku!” Tinky berlari kencang meninggalkan
Pooh yang terbengong-bengong. Seusai kepergian Tinky, Pooh merapikan rambutnya
lalu bangkit berdiri. Ia memutuskan untuk pulang saja. Siapa juga yang mau nyusul kamu? Dasar PD! ujar Pooh dalam hati.
*****
“Bunda!
Pooh nyebelin banget sih! Masa dia bilang, dia nggak mau ikut drama padahal kan
tampil di Neon Park tinggal dua minggu lagi.” adu Tinky pada sang Bunda yang
sedang memasak. Ya, Tinky kalau ingin mencurahkan hatinya, ia pasti langsung
melakukannya tanpa melihat situasi dan kondisi, tetapi sang bunda sudah maklum
dengan anak gadisnya yang sudah remaja itu.
Bunda
mengecilkan api kompor sebentar. “Tinky sayang, kamu nggak bisa maksain Pooh
kalau dia nggak suka.” Ucap Bunda penuh perhatian sambil sesekali menengok
masakannya di atas kompor.
Tinky
menggerutu pelan. Apakah Bunda membela Pooh? Harusnya Bunda tak melakukan itu.
“Ahh Bunda! Pokoknya Tinky mau Pooh tetep ikutan Drama. Titik.” Tinky
melenggang pergi ke kamarnya. Bunda menggeleng-gelengkan kepala melihat betapa childish-nya anak kesayangannya.
Tinky
mengambil sepatu kanvas yang masih bersih dari cat warna. Kebiasaan Tinky kalau
lagi marah, melukis sepatu kanvas. Ia sudah memiliki ratusan sepatu kanvas yang
ia lukis sendiri dan di tata di sebuah lemari khusus. Bayangkan betapa
seringnya ia marah dan melampiaskannya ke sepatu kanvas tak berdosa itu. Seraya
Tinky melukis, bayang-bayang Pooh menyusup ke otak Tinky. Tinky sontak kesal
kemudian melemparkan sepatu kanvas bagian kanan yang baru ia lukis sekenanya.
“Kring,
kring, kring!!!!” Ponsel milik Tinky berdering.
“Halo!”
Sapa Tinky dengan nada tak bersahabat.
“Tinky,
aku habis masak kue loh! Mau nyobain nggak? Kalau mau kamu mesti nyampe di sini
15 menit dari sekarang.” suara riang Aubrey memenuhi telinga Tinky.Aku bisa congek kalau ngedenger suara si
alien satu ini lebih lama lagi, ujar Tinky pada dirinya sendiri. Tinky
memutuskan sambungan telepon.
*****
Aubrey
membuka pintu rumahnya setelah suara bell berdering terus menerus dan sukses
memekakkan telinganya. Melihat wajah sahabatnya di sana membuat Aubrey
berseri-seri. Tinky memeluk Aubrey lalu masuk ke dalam rumah. Aroma brownies
kukus pandan menggelitik hidung Tinky, air liurnya berdesakan ingin keluar.
“Nih.”
kata Aubrey seraya menyodorkan sepotong brownies dengan asap yang masih
mengepul di atas piring melamin bermotif bunga kepada Tinky.
Tinky
menerimanya dan langsung melahap brownies tersebut kurang dari semenit.
“Jadi
ada apa antara kamu dengan Pooh?” tanya Aubrey yang dari tadi melihat
sahabatnya hanya diam. Tinky yang ditanya hanya mengangkat alis, pura-pura tak
mengerti. “Wajahmu menyiratkan segalanya, lebih baik kamu certain sekarang.”
Tinky
meraih air putih di samping piring kuenya kemudian meneguknya sampai kandas.
Tinky memegang tangkai gelas itu sambil melamun. “Well,dia nggak mau ikut drama. Padahal pementasan di Neon Park
tinggal dua minggu lagi. Aku bisa gila kalau begini.” Tinky mendengus pelan
mengingat kenyataan yang ia alami.
“Loh,
kok bisa? Bukannya pertama kali kamu tawarin, dia langsung setuju? Iya kan?”
Aubrey menggaruk-garuk kepalanya, ia sangat bingung dengan tingkah Pooh.
Mengapa tiba-tiba tak mau ikut drama?
“Iya
dia setuju. Tapi sekarang, entahlah dia berubah pikiran.” Tinky meletakan gelas
itu kembali ke atas meja, ia takut gelas itu akan retak di tangannya saking ia kesalnya
dengan Pooh.
Aubrey
memotong brownies utuh yang lainnya dan meletakan di piring Tinky lagi. Kali
ini nafsu makan Tinky menguap
begitu saja. Tinky terlalu sibuk dengan pikirannya. Sepertinya ia butuh refreshing. Aubrey yang melihat
perubahan nafsu makan Tinky langsung peka bahwa sahabatnya itu sedang bad mood.
“Temenin
aku belanja yuk!” Ajak Aubrey bersemangat.
Tinky
menggeleng-gelengkan kepala. Tinky bertopang dagu, masih menikmati lamunannya.
Tangan
Aubrey mendorong satu lengan Tinky, membuat lamunan Tinky buyar seketika. “Aku
beliin sepatu kanvas deh.” Bujuk Aubrey.
“Nggak
mau.”
“10
pasang sepatu kanvas loh? Gila, jarang-jarang aku baik gini.” Aubrey
mengerlingkan matanya. Tinky langsung menolak dengan sekali kibasan tangan.
Wajah Aubrey merengut. Biasanya bujukannya ini selalu ampuh, tapi kenapa
sekarang tidak seperti biasanya?
“20
pasang! Deal or no deal?” Tukas Tinky
tanpa bisa ditawar. Aubrey menjitak kepala Tinky otomatis. Mereka berdua
tertawa bersama kemudian memutuskan untuk pergi saat itu juga.
*****
“Tinky
buruan! Bintang udah nunggu dari tadi loh!” Teriak Bunda dari arah ruang tamu.
Bintang-teman Tinky sibuk memencet-mencet ponselnya, sepertinya ia sedang
bermain game untuk mengenyahkan kebosanan. Karena Tinky tak menjawab, darah
Bunda mulai mendidih. “Bintang, tante tinggal bentar ya.” Bintang menggangguk
sopan.
Tinky
sedang menyisir rambut hitamnya ketika Bunda sampai di depan pintu kamarnya.
Tinky menoleh ke arah pintu dan meringis. “Hehehe, Bunda”
Bunda
menghampiri Tinky lalu menjewer telinga kiri putrinya. Tinky mengusap-usap
telingannya yang memerah. “Kamu tuh ya, hobi banget telat. Udah tahu mau gladi
kotor.”
“Ya
maaf Bunda sayang. Nih udah beres, tinggal masang sepatu doang.” Tinky
mempercepat langkahnya menuju lemari khusus sepatu-sepatu kanvasnya.
“Oh
iya, kemarin Pooh ke sini.” Perkataan Bunda barusan membuat Tinky menghentikan
aktifitasnya saat itu. Tinky menoleh menatap Bunda penuh tanda tanya. “Nanyain
kamu, terus bunda tinggal masak, tahu-tahu pas bunda balik kayaknya dia pulang
sih.”
Rasa
yang tak ingin dirasakan oleh Tinky muncul perlahan di dalam hati Tinky. Rindu.
Rindu yang selalu mengusik perasaanya selama ini berakar di dalam hatinya. Ia
sampai kewalahan memusnahkan perasaan itu dari hatinya. Ia sangat amat
merindukan Pooh. Seorang cowok yang tidak pernah membuatnya menangis kecuali
hari ini. Pooh berubah. Sebulir air mengucur dari mata bundar Tinky. Ia
buru-buru mengelap menggunakan jari telunjuknya. Tinky bergegas memasang sepatu
lalu pamit pada Bunda. Ia berangkat bersama Bintang.
*****
Pooh
dan Aily berjalan di taman. Sudah menjadi kebiasaan mereka jalan-jalan sore ke
taman ini. Pooh senang melihat Aily tersenyum. Pooh teringat sesuatu, hari ini
adalah hari ulang tahun Aily. Ya pasti Pooh benar, sekarang tanggal 20 April
2006. Pooh merogoh saku celananya, ia merasakan lembaran kertas di sana. Pooh
meminta izin pada Aily untuk menunggunya sebentar, Aily memberikan izin. Selang
beberapa waktu, Pooh kembali dengan balon berwarna merah di tangannya.
“Selamat
ulang tahun Aily!” Seru Pooh kesenangan sambil memberikan balon merah itu pada
Aily.
Aily
tak kuasa menahan tawa, ia sangat bahagia. “Pooh, kamu adalah cowok terbaik
yang pernah aku temui.” pernyataan spontan Aily membuat pipi Pooh merah
bersemu.
“Kamu
punya keinginan apa di hari yang spesial ini?” Tanya Pooh penasaran. Aily tak
menjawab, sepertinya masih berpikir. Tiba-tiba Pooh meraih tangan Aily. Pooh
menggandeng Aily, Aily menatap Pooh sambil tersenyum. Mereka tetap bergandengan
tangan sampai Aily mendengar sesuatu.
“Pooh
kamu denger itu?” Aily melepaskan genggaman tangan Pooh dan menepikan rambutnya
ke belakang telinga. Ia mendengarkan dengan saksama. Pooh tak menjawab, ia juga
sedang berusaha mendengarkan apa yang didengarkan Aily. “Suara orang menangis.”
Simpul Aily. Aily berjalan mengikuti suara itu diikuti Pooh di sampingnya.
Aily
dan Pooh menemukan seorang gadis di bawah pohon menangis terseduh-seduh. Aily
menghampiri gadis itu, sedangkan Pooh tetap berdiri di tempatnya semula. Dari
kejauhan Pooh memperhatikan Aily seperti menenangkan gadis itu, tetapi gadis
itu tetap menangis. Pooh melihat Aily memberikan balon berwarna merah yang ia
berikan tadi telah diserahkan Aily pada gadis tersebut, waktu Pooh hendak
berlari menuju Aily, ia mengurungkan niatnya karena melihat Aily sudah berada
di atas pohon. Pooh mulai panik, ia takut sesuatu yang buruk terjadi pada Aily.
“Aily
kamu ngapain di atas pohon? Turun!!!!” pekik Pooh dari jauh. Sayangnya, suara
Pooh terbawa angin dan pastinya Aily tak dapat mendengar perkataan Pooh dari
atas pohon.
Gadis
yang dikuncir dua itu masih terduduk di tanah, di bawah pohon sambil memberikan
arahan pada Aily. Tangannya terkibas ke arah kiri, tanda menunjukkan Aily untuk
berpindah ke batang pohon sebelah kiri. Beberapa lama kemudian wajah Aily
tampak sumringah dengan sepatu kanvas di tangan kanannya, sedangkan tangan kiri
Aily memeluk erat batang pohon. Aily mengacung-acungkan sepatu itu ke gadis di
bawah pohon dan ke arah pooh. Gadis di bawah pohon itu berhenti menangis dan
bersorak kegirangan. Pooh yang melihat betapa tulusnya pengorbanan Aily
tersenyum lebar sambil mengangkat kedua jempolnya untuk Aily.
Sekarang
Pooh merasa jauh lebih lega, ia tak menunda untuk menjemput Aily, ia bangga
kenal dengan cewek seperti Aily, sebelum ia sampai di tempat Aily dan gadis
yang tak dikenalnya itu, ia mendengar jeritan histeris disusul badan Aily yang
melayang dari atas pohon ke tanah. Semua orang di taman
itu mengerumuni tempat terjatuhnya Aily. Pooh menjerit tak terima.
Pooh
menggenggam tangan Aily, berusaha membangunkan Aily yang matanya tertutup
rapat-rapat. “Aily, bangun! Kamu jangan tidur dong! Kalau mau tidur di rumah
aja.” darah dari kepala Aily mengalir ke tangan mungil Pooh. Pooh dapat
merasakan kehangatan darah segar itu. Pooh mulai menangis, orang-orang dewasa
di sekitar mereka sibuk menelepon ambulan.
Tangan
mungil Aily bergerak perlahan. Pooh menyeka air matanya. “Pooh… Pooh…” Pooh
langsung menggenggam tangan Aily, Pooh senang tapi ia gelisah, Aily berbicara
sedangkan matanya masih tertutup. “Pooh. Keinginanku di hari ulang tahunku ini,
jangan bikin gadis itu nangis lagi ya. Gadis yang memegang balon merahku itu
namanya Tinky.” Pooh mengangguk cepat tanpa benar-benar paham apa yang
dikatakan Aily.
Seorang
wanita berjas putih dengan stetoskop dikalungkan di lehernya memegangi tangan
Aily. Pooh bingung tetapi ia tetap membiarkan wanita itu. “Sudah terlambat.
Gadis ini sudah meninggal.” Mendengar perkataan wanita berjas putih itu membuat
Pooh marah. Ia memukul-mukul tangan wanita itu yang ternyata adalah seorang
dokter.
“Aily
nggak meninggal! Dokter bohong! Pergi sana!!!!” Pooh menangis sejadinya. Gadis
yang memegang balon merah milik Aily tak kalah histerisnya, gadis itu juga
menangis. Dokter itu memeluk dua anak SD yang rapuh tersebut. Seusai kematian
Aily, Pooh merasa hidupnya takkan pernah sama lagi. Ia harus menuruti keinginan
Aily.
“AILYYYYYY!!!!!”
Teriak Pooh terbangun dari tidurnya. Tubuhnya basah kuyup oleh keringat. Ia
melihat tangannya memeluk sepatu kanvas milik Tinky. Ia sangat merindukan Aily,
seseorang yang ia kagumi sejak ia SD. Pooh memijat pelipisnya. Aily menyuruhnya
untuk tidak membuat Tinky menangis, Pooh tidak tahu apakah kejadian beberapa
hari lalu membuat Tinky menangis. Pooh merasa bersalah karena membuat Tinky
sedih, Aily pasti akan sedih jika mengetahui kenyataan ini.Pooh menyadari ia
melampiaskan kekesalannya pada Tinky. Ia masih tidak terima karena Aily
meninggal saat Aily menolong Tinky untuk mengambil sepatu Tinky yang tersangkut
di atas pohon.
Hari
itu ketika Tinky memaksa Pooh latihan drama, Pooh sangat kesal karena ia
menganggap Tinky seperti anak kecil. Tinky memaksakan semua apa yang
diinginkannya harus tercapai, kemudian memori detik-detik Aily meninggal
terputar di otak Pooh, membuat Pooh semakin kesal dan memilih mengacuhkan
Tinky, makanya Pooh menolak untuk melakukan drama. Ia ingin menunjukkan pada
Tinky, bahwa tidak semua keinginannya harus terwujud, Tinky harus belajar
menghargai keinginan orang lain.
Pooh
bangkit dari tempat tidurnya, ia beranjak ke meja belajarnya.Selesai menulis
sebuah surat, surat itu dimasukannya ke dalam sepatu kanvas Tinky. Ia
meletakkan sepatu itu dalam sebuah box berwarna merah. Ia mengantarkan box itu
ke kantor pos untuk dikirimkan pada Tinky.
*****
Hari
ini tanggal 20 April 2016. Tanggal yang ditunggu-tunggu oleh Tinky. Hari ini
pementasan drama akan dilakukan. Ia merasa sangat gugup terhadap apa saja yang
telah dipersiapkannya.Ia
bolak-balik mematut diri di kaca sambil menghafal naskah drama dan juga melatih
ekspresinya. Sesaat ia meremas perutnya, ia sangat grogi, ia membutuhkan
sesuatu untuk menghilangkan itu dan biasanya hal yang bisa menghilangkan
groginya adalah Pooh. Ya, biasanya Pooh selalu ada di sampingnya. Wajahnya
mulai muram ketika nama Pooh terlontar
di otaknya. Tidak, ia tidak boleh sedih, ia menepuk-nepuk kedua pipinya untuk
memberi semangat pada dirinya sendiri.
“Tinky!!” panggil Bunda, Tinky
langsung menjumpai bunda yang ada di ruang tamu.
“Ada apa Bunda?”
“Nih ada paket. Bunda tinggal
dulu ya.”
“Iya Bunda, makasih.”
Tinky mengamati box berwarna
merah itu. Ia membuka tutupnya perlahan, entah mengapa membuka box ini terasa
lebih mendebarkan daripada tampil drama nanti. Tinky menemukan sepatu kanvas
miliknya ada di sana, sepatu kanvas yang 10 tahun selalu dipakainya, tapi sejak
kematian Aily, seorang gadis yang sangat baik hati yang membantunya mengambil
sepatu itu, ia jadi tak suka memakai sepatu kanvas itu, baginya itu seperti
menggores luka masa lalu. Ia mengeluarkan sepatu kanvas itu dari box berwarna
merah, selembar kertas putih ditemukannya di dalam sepatu, dengan cepat Tinky
membuka kertas yang dilipat dua itu.
Jika
kamu menerima paket ini pada tanggal 20 April, ingatlah bahwa hari ini hari
ulang tahun Aily. Masih ingat Aily? Perempuan yang menolongmu sampai ia
menghembuskan napas terakhirnya di depanmu. Rasanya perih sekali mengingat hal
ini, apalagi bagiku.
Tinky menahan napasnya. Ada
sesuatu yang berkecamuk dalam hatinya, membuatnya merasa bersalah. Ia enggan
membaca tulisan itu lagi, tapi separuh hatinya menganjurkan untuk meneruskan.
Maafin
aku karena aku waktu itu menolak untuk mengikuti drama. Aku sangat kesal dengan
semua sikap kekanak-kanakanmu selama ini. Semua yang kamu mau harus kamu
dapatkan, itu tidak baik Tinky J.
Aku harap kamu bisa mengerti. Maafin aku mungkin selama ini bikin kamu sedih.
Karena setiap melihatmu, aku selalu mengingat Aily, lebih tepatnya kejadian
yang membuat Aily meninggal dunia, meninggal dunia artinya meninggalkanku untuk
selamanya.Nanti di makam Aily aku akan mengakhiri semuanya. Perasaan marahku ke
kamu, aku bakal berusaha buat ngelenyapin itu.Aku cuma minta kamu jangan nangis
saat membaca surat ini. Tolong, jangan menangis. Semangat dramanya! Do all your
best!
“Pooh kamu bodoh banget sih!”
Tinky terisak pelan. “Mana bisa aku nggak nangis baca surat ini. Ternyata
selama ini kamu nyimpan dendam ke aku? Huh.” Tinky merobek surat itu dan
meninggalkan semua itu- sepatu kanvas dan surat begitu saja.
*****
Bunga
kenanga, mawar, dan melati bertebaran di gundukan tanah kering di hadapan Pooh.
Ia terus menaburkan bunga-bunga itu di makam Aily. Pooh mengusap nisan yang
tulisannya mulai pudar itu. Ia memandangi kuburan itu dengan tatapan hampa.
Aily sudah pergi dan sampai sekarang Pooh masih belum bisa terima dengan
kenyataan itu. Pooh menahan dirinya agar ia tak menangis. Teriknya matahari
menemani Pooh yang sedang menahan tangis. Lebih baik ia merasakan panasnya
matahari daripada merasakan perihnya kehilangan seseorang yang sangat ia kagumi
dan sayangi.
“Selamat
ulang tahun Aily. Maaf aku nggak bisa bikin Tinky senang.”
Sengatan
matahari tak dirasakan lagi oleh Pooh, ia melirik ke atas dengan mata menyipit.
Tinky memayungi Pooh. Pooh tertunduk sebentar, ia tak tahu harus melakukan apa
pada Tinky. Pooh berdiri, sekarang mereka saling berhadapan. Tinky terdiam,
Pooh hanya bisa melihat kedua mata bundar Tinky berkaca-kaca. Pooh merasa
dirinya terpaku, ia tak bisa melakukan apapun, melihat kedua mata bundar itu
berkaca-kaca membuat tenaga Pooh tersedot habis.
“Kamu dendam
ya sama aku? Kamu nyalahin aku atas kematian Aily? Karena itu kamu masih belum
bisa mengasihi aku seutuhnya sebagai sahabat?” rentetan pertanyaan mengalir
dari bibir tipis Tinky yang mengering. Pooh menggeleng-gelengkan kepala, ia tak
sanggup melihat wajah sedih di hadapannya.
“Hari ini
ulang tahun Aily kan? Selamat ulang tahun ya Aily.” Tinky memandangi nisan itu
dengan penuh ketulusan. Tanpa ia sadari air mata menetes dari kedua pelupuk
matanya. “Aku bela-belain dateng ke sini dan batalin drama aku cuma demi
ngerayain ulang tahun kamu.” Tinky menelan ludah sejenak. Tinky memutar
badannya, mengambil sesuatu dari balik badannya, sebuah balon berwarna merah
dan sepatu kanvas. Pooh semakin membeku. “Ini semua barang-barang terakhir kamu
sebelum kamu pergi. Balon berwarna merah adalah hadiah yang dulu diberikan oleh
Pooh, kamu ingat kan?” Pooh meneteskan air mata, ia merasa bersalah membuat
Tinky menangis seperti itu. “Yang ini sepatu kanvas. Gara-gara sepatu ini aku
nangis, terus gara-gara kamu ngeliat aku nangis kamu nolongin aku sampai kamu
manjat pohon demi ngambil sepatu yang harganya nggak sebanding sama nyawa
kamu.”
“Kamu nggak
perlu ngelakuin ini semua.” Pooh akhirnya berbicara.
“Aily, aku
mau cerita. Pooh orang
yang aku anggap sahabat aku ternyata nggak mengasihi aku. Aku sedih
banget. Aku tahu pasti dia benci sama aku, soalnya karena aku, kamu meninggal.”
Tinky tak menggubris ucapan Pooh. Ia terus membeberkan isi hatinya. “Memang sih
selama ini aku nyebelin banget ke dia, dia juga nggak kalah nyebelinnya ke aku.
Tapi kamu tahu Aily, cuma dia satu-satunya orang yang bisa membuat aku bahagia, yang bisa ngelenyapin rasa
gugupku, yang membuatku berani menghadapi dunia. Aily, aku boleh kan bersahabat
sama Pooh? Aku mohon.” Tinky tersungkur memeluk nisan Aily.
Pooh menarik
tangan Tinky dengan kasar lalu memeluknya. Tinky menangis di bahu Pooh. Ia tak
ingin sahabatnya menjauhinya. Pooh membelai rambut Tinky, Pooh dapat merasakan
bahu Tinky yang bergetar hebat. Pooh sangat kecewa dengan dirinya sendiri. Ia
sadar orang yang sudah meninggal tak mungkin hidup kembali, seharusnya ia
memperhatikan Tinky, sahabat yang masih dimilikinya, sahabat satu-satunya yang
ia punya.
“Tink,
maafin aku Tinky. Aku salah. Selama ini aku hanya memikirkan kelakuanmu yang
buruk, aku nggak sadar sebenarnya kamu sangat membutuhkan perhatianku. Maafin
aku selama ini hanya memikirkan Aily. Sekarang aku sadar, kita nggak bisa
mengubah masa lalu tapi kita bisa menata masa depan. Tetap jadi sahabatku ya!
Jangan ninggalin aku. Aku janji aku bakal mengasihi kamu sebagai sahabat, aku
janji nggak bakal ngebiarin kamu sedih lagi.” Pooh melepaskan pelukannya dan
tersenyum lembut. Tinky mengangguk lemah. Tinky berkomitmen dalam hati, ia tak
akan memaksakan keinginannya lagi, ia tak ingin kehilangan seseorang
yang berarti dalam hidupnya. Ya, Pooh sahabatnya, ia tak ingin kehilangan
sahabatnya.
Comments