"Kiri, Pak!" [PART.1]

 

sumber foto: portalsidoarjo

Hari ini aku mau cerita tentang cinta pertamaku. Kayaknya kalian bisa nebak deh. Cluenya bisa dinaikin. Apa? Masih belum paham juga? Oke satu clue terakhir deh, warna-warni dan kadang ada angkanya! Apa pembaca? Ayo serukan dalam hatimu lebih keras! Iya bener, cinta pertamaku adalah transportasi umum yang bernama ANGKOT! Walaupun sempet banyak berita tentang kriminalitas di dalam angkot, aku tetep suka naik angkot. Makasih udah mau berimajinasi tanya-jawab singkat bareng aku wkwkwk.

Pertama kali naik angkot sendiri itu pas Masa Orientasi Sekolah (MOS) SMP, berarti sekitar tahun 2011. Nah, awal MOS, mama kan nganterin aku tuh, lalu mamaku survei transportasi umum yang bisa diakses sampai Sidoarjo. Hal itu dilakuin karena peraturannya anak SMP nggak boleh bawa kendaraan sendiri, ya iyalah belum punya SIM dan juga jarak antara rumahku dan sekolah lumayan jauh. Dapetlah angkot! Mamaku nyaranin aku buat naik angkot dan turun di persimpangan jalan Embong Malang, kalau udah di sana mamaku yang jemput. Meskipun aku masih bingung, aku iyain aja deh.

Hari ketiga MOS aku mulai dilepas naik angkot. Pulang dari sekolah, masih dengan dandanan MOS (rambut diikat dua belas dengan tali rafia, bawa tas karung, dll) aku berdiri kayak orang ling-lung. Aku bingung harus ke mana. Masih dungu banget tuh, nggak tahu harus naik angkot yang mana. Dengan kadar malu yang tinggi saat itu, aku berusaha nanya temenku, namanya Adel. Adel berbaik hati mengantarku ke terminal angkot di sebuah pasar. Di sana beragam warna angkot berderet terpakir rapi. Sampai di sana, aku ditinggal Adel. Oke, aku berusaha mandiri, aku tanya sama bapak-bapak di sana, angkot mana yang harus aku naiki. Setelah ditunjukkan. Aku duduk. Ternyata nggak langsung jalan, sistemnya itu bapak supir menunggu penumpang hingga penuh baru deh berangkat. Bayangin aja, kikuk banget duduk terus dilihatin orang-orang nahan tawa. Sudah jelas karena dandanan badutku itu.

Oke lanjut, bagiku hal paling bikin gugup saat naik angkot adalah teriak minta turunnya. Angkot itu kan berisi banyak manusia, kayaknya bisa menampung 10 orang di belakang dan 3 orang di depan termasuk supir. Kalau dapat tempat duduk di belakang, kita bakal hadep-hadepan sama orang dengan jarak beberapa senti doang. Untuk teriak “Kiri, Pak” itu adalah suatu perjuangan besar bagiku. Sekadar mengingatkan kembali, dulu aku sangat pemalu. Sebelum sampai tujuan aku selalu berdoa dalam hati, semoga ada orang yang destinasinya sama kayak aku dan dia teriak “kiri, Pak” duluan, jadi aku nggak usah susah payah teriak. Mau turun aja pake drama segala. Agak tolol sih kelakuanku, tapi memang gitu pas SMP.

Setelah beberapa minggu naik angkot, aku menemukan teman-teman yang satu sekolah denganku untuk naik angkot. Jadi, makin semangat deh naik angkotnya. Biasanya bisa naik angkot bareng temen-temen satu sekolah itu pas pulang sekolah. Kalau berangkatnya, ada beberapa temen dari Sidoarjo yang aku inget, Kak Yohana, Aldo, Axel, dan Fei-Fei. Itu pun suatu keberuntungan kalau pagi-pagi kami bisa naikin angkot yang sama. Sejak naik angkot bareng temen-temen satu sekolah, aku jadi lebih pede naik angkot. Tapi tunggu dulu, drama naik angkot nggak berhenti sampai situ. (bersambung di part selanjutnya)

Comments

Popular posts from this blog

JANGAN PUNYA ANAK DULU KALAU?

Langkah-Langkah Sederhana untuk Melawan Korupsi

New normal Dicetuskan, Masyarakat Sudah Disiapkan?