Her Name Yola

"Don't walk behind me; I may not lead. Don't walk in front of me; I may not follow. Just walk beside me and be my friend.”
― Albert Camus


Aku selalu ingat pada manusia yang satu ini. Tidak ada perubahan signifikan dalam dirinya. Her face is almost same as when we first met! Sekarang wajahnya makin cantik dan tentunya dia makin dewasa. Pancaran senyumnya selalu sama. Jiwanya masih bersahaja seperti dulu. Aku nggak nyangka ketemu dia lagi. Kami selalu dipertemukan di sebuah gereja. Aku menyebutnya sahabat.

Aku dan dia dipertemukan waktu kami masih kelas 3 SD. Kami saling mengenal saat gereja yang kami jemaati dulu mencari anak-anak untuk mengisi acara natal. Kebetulan aku dan dia disuruh nari, tarian semut. Sejak itu aku mulai deket sama dia, setiap pulang gereja aku selalu main sama dia. Aku inget terakhir kali aku dan dia ketemu pas aku nganterin dia pulang, pas nyampe rumahnya, dia muntah-muntah. Dia sakit. Sejak hari itu kami nggak pernah ketemu lagi dan bener-bener lost contact.

Waktu kelas 7, aku dan dia ketemu lagi. Ketemu di gereja, tapi bukan gereja masa kecil kami dulu. Awal ngelihat dia aku ragu-ragu apa itu beneran temen aku waktu kecil dulu. Dan dia juga berpikiran sama kayak aku waktu itu. Kami berdua ragu-ragu. Sampai akhirnya dia memulai pembicaraan ke aku, dan di saat itu aku 1000% yakin bahwa dia adalah temen aku pas kecil dulu. Benar, otakku belum pikun! Dia temen masa kecil aku dulu, satu kelompok nari untuk ngisi acara natal di gereja. Namanya Yola. Yolanda Angelina Kristianti. Akhirnya kami berdua tuker-tukeran nomer hp, lalu kami juga menjaga komunikasi lewat akun media sosial yang kami miliki. Kami banyak curhat tentang masalah pribadi, misalnya tentang sekolah, orang tua, bahkan teman dekat.

Seiring berjalannya waktu, kami terpisahkan lagi. Aku harus pindah kota, maksudku provinsi. Tapi kali ini aku nggak merasa kehilangan seperti pertama kali kami berpisah. Kali ini aku punya banyak cara untuk tetep komunikasi sama dia. Waktu liburan aku juga tetep main sama dia. Walaupun kami nggak sering ketemu, lebih tepatnya jarang sih, tapi kami tetep ngebangun komunikasi yang baik. Aku nggak nyangka bakal berteman sama dia sampai sekarang. Sekarang kami kelas 10! Dia adalah teman masa kecil yang paling awet dan kini bertransformasi menjadi sahabatku.

Hal yang paling aku sesali saat berpisah sama dia adalah aku nggak bisa ada di saat masa-masa sedihnya dia. Seperti kejadiaan tahun-tahun sebelumnya, mamanya dia meninggal. Aku bisa ngerasain kesedihannya. Aku tahu pasti di sana banyak temen-temennya dia yang bakal ngehibur dia yang bisa ada di samping dia pada saat itu. Dan aku kecewa sama diri aku sendiri, soalnya aku pengen ada di samping dia, ngehibur dia walaupun cuma bentar. Aku pengen jadi sahabat yang seutuhnya buat dia. Tapi aku tahu itu gak pernah mungkin. Jarak luas ini menahanku untuk melihat keadaannya secara langsung. Aku sadar aku nggak bisa selalu ada di sampingnya, menjadi sahabat terdekatnya di saat dia butuh bantuan. Tapi aku bisa ngelakuin cara lain untuk melakukan fungsiku sebagai sahabat. Aku bisa memeluknya melalui doa. Walaupun cuma lewat doa, aku percaya Tuhan tahu isi hatiku untuknya.







Comments

Popular posts from this blog

New normal Dicetuskan, Masyarakat Sudah Disiapkan?

"Kiri, Pak!" [PART.1]