Hei Hanura!



Image result for hati nurani
https://www.google.com/cineam.net
Hai hai!
Gimana minggu ini? Kesel? Seneng? Capek? Muak? Kalo aku sih ngerasain semuanya. Semakin tua umur kita, semakin banyak tanggung jawab yang mesti ditanggung. Ya, itulah yang menyebabkanku merasakan semua perasaan tadi. Lagian nggak bisa tuh pake prinsip orang lain yang tanggung, diri sendiri yang jawab. Gila kali ya? Hidup nggak boleh seegois itu, kecuali nuranimu ilang. Gila, gila baru awal aja udah sarkas banget, ampun! Speaking of words, nurani hilang? Sebenernya siapa sih nurani itu? Hilang ke mana dia? Ribet banget pake nurani-nuranian segala. Westeh, woles dong, nurani itu sebuah APA ya gaes bukan SIAPA. Sudah jelas nurani adalah apa karena huruf awalnya bukan kapital. Kalo huruf awalnya kapital, Nurani, baru deh nanya SIAPA. Ini kenapa jadi bahas Bahasa. Oke skip.  

Jadi, apa sih nurani itu? Berdasarkan KBBI, nu.ra.ni merupakan kata sifat dan kata benda. Nurani dalam bentuk kata sifat bermakna, berkenaan dengan atau sifat cahaya (sinar dan sebagainya). Sedangkan nurani dalam bentuk kata benda berarti lubuk hati yang paling dalam. Biasanya nurani ini gandengan katanya adalah hati, jadilah frasa hanura alias hati nurani, bukan nama partai lho ya. Kalo aku gandengan sama kamu, jadilah kita, hmmm gitu nggak sih? Hehehe.

Maksud prolog di atas adalah memberitahu kepada kalian, atau kalo sudah tahu berarti mengingatkan kalian, bahwa setiap manusia punya hati nurani, setuju kan? Di paragraf berikutnya, aku mau bahas banyak manusia yang nggak sadar bahwa dia punya hati nurani dan bahkan banyak dari mereka mengabaikan hati nurani itu sendiri atas dasar ego mereka. Mungkin orang yang lupa bahwa ia memiliki hati nurani lebih megedepankan akal sehat dalam melakukan sesuatu. Apakah salah? Ya nggak juga sih, tapi nggak salah juga kan ketika akan melakukan sesuatu melibatkan hati nurani. Yakan? Dikutip dari artikel Menyelesaikan Masalah dengan Akal dan HatiNurani, penulisnya menulis begini,

 Akal selalu mempertimbangkan antara untung atau rugi, cepat atau lambat, mudah atau sulit, beresiko atau tidak, dan sejenisnya. Sementara itu, hati nurani selalu mempertimbangkan baik atau buruk, manusiawi atau tidak, jujur atau tidak jujur, adil atau tidak adil, dan seterusnya.

Mengulas kepingan respon yang diutarakan oleh beragam manusia di sekelilingku membuatku menyadari bahwa banyak manusia nggak sadar kalau mereka punya hati nurani yang harus dioptimalkan fungsinya. Entah kenapa aku mikirin hal itu. Lengket aja gitu di otakku dan bikin aku berkontemplasi berjam-jam. Di tulisan ini aku cuma ngungkapin salah satu respon, yang menurutku meresahkan karena bukan cuma aku yang pernah ada di posisi itu, tetapi orang terdekatku juga merasakan yang sama.

Ceritanya nih lagi ngumpul sama temen-temen. Sebagian besar manusia di situ terklasfikasi sebagai kaum receh, sedangkan salah satu orang memiliki kadar receh yang sangat rendah. Ketika kaum receh di sana melemparkan meme dari A-Z atau video-video konyol dari badak naik motor sampai motor naik badak, eh kok absurd banget dah wkwkwk. Sebut saja Satu (karena hanya dia satu-satunya yang kucinta nggak receh), si Satu tidak ketawa dengan selera humor mereka. Terus salah satu member kaum receh nyeletuk “yaelah masa lu ga ketawa sih? Lucu lho ini! Lucu banget!” disambung dengan member lainnya “iya ih apaan sih Satu, masa nggak ketawa sih?” si Satu dengan polosnya menjawab “ya emang nggak lucu gimana dong, masa aku maksain ketawa?”. Mendengar penjelasan Satu, kaum receh pun menggeleng-gelengkan kepala seperti tidak percaya. Mungkin mereka berpikir Satu merupakan makhluk luar planet karena tidak sependapat dengan mereka. Kejadian itu pun berulang terjadi terhadap Satu.

Respon Satu ini mewakili aku yang dipaksa berkonformitas dengan social circle. Oke, aku jelasin sekilas tentang konformitas ya. Dalam artikel Apa yang Dimaksud dengan Konformitas, disebutkan teori Zebua dan Nurdjayadi (2001) bahwa konformitas berarti tunduk pada kelompok meskipun tidak ada permintaan langsung untuk mengikuti apa yang telah diperbuat oleh kelompok. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konformitas adalah tendensi seseorang untuk mengubah keyakinannya agar sama perilaku dengan orang lain.

Tenang saja aku selalu menolak untuk berkonformitas karena menurutku hal yang mereka tunjukkan memang tidak lucu. Aku juga menjelaskan pada mereka kalaupun lucu pasti aku ketawa. Menurut aku nggak ada yang salah dengan itu. Tahu nggak sih respon seperti memaksa seseorang berkonformitas dengan pola pikir yang dianggap benar oleh diri sendiri, itu benar-benar bukan hal yang adil serta bikin risih. Sesuai dengan kutipan yang sebelumnya aku cantumin, berarti oknum-oknum kayak begitu dapat dikategorikan orang yang nggak pake hati nurani? Ya iyalah! Tenang aja, setelah aku memberi pengertian kepada orang-orang yang terkait, mereka berangsur-angsur berubah.

Di sisi lain, temen aku dengan keadaan yang berbeda juga ditempatkan untuk berkonformitas dengan lingkungannya. Sebut saja Blimbing. Waktu itu, aku akhirnya berkesempatan untuk makan es buah bareng dengan Blimbing. Selama ini pertemuan kami hanya sebatas wacana, kami selalu berpikiran tak punya waktu yang tepat untuk saling curhat. Entah kenapa, malahan di waktu yang sungguh tidak tepat cerita si Blimbing itu bergulir. Aku sedang buru-buru untuk pergi ke suatu tempat, tiba-tiba Blimbing nelpon dan ngajakin aku makan es buah. Aku mikir, ya udahlah masih ada waktu beberapa jam kayaknya, jadi aku sempet-sempetin aja ketemu si Blimbing, palingan juga curhat tentang doinya jadi pasti ga bakal lama. Pertemuan itu pun terjadi.

Bertolak belakang dengan apa yang aku pikirin sebelumnya. Blimbing nyeritain tentang keluarganya dan pertemanannya di kampus. Sampai pada satu titik aku menyoroti perkataannya yang bikin aku gregetan “aku capek vil, aku capek harus berpura-pura ketawa, masang muka ceria di depan mereka, padahal aku ini sebenernya bukan orang yang terlalu ekspresif”. Secara rasional aku mikir,  ya itu kan keputusan dia mau berpura-pura ketawa padahal harusnya kalau dia mau jujur sama diri sendiri dan orang lain, ya lakuin aja hal sebaliknya. Tapi pas dia nangis, aku ngerasain rasa sakit yang lama dia pendam, bahkan di kelompok pertemanan terdekatnya pun dia nggak bisa ngutarain isi hati sejujurnya. Akal sehatku menimpali lagi ya seharusnya kalo dia udah deket sama temen-temennya, dia percaya dan bisa ngutarain hal apapun, kalo nggak gitu ngapain temenan. Tapi, hati nurani aku sedikit membantah, bisa jadi teman-temannya tidak menciptakan kondisi bisa dipercaya atau rasa aman makanya Blimbing nggak berani jujur.

Setelah menelusuri cerita Blimbing lebih dalam, ternyata ada momen di masa lalu yang berkontribusi menciptakan seorang Blimbing yang sekarang. Blimbing memiliki pengalaman pahit yang intinya dia ngerasa dipermaluin di depan orang dan nggak dianggep. Aku jadi paham, kenapa dia konformitas dengan kelompoknya. Aku tetep ngerasa itu salah dan nggak adil buat dia. Padahal yang aku lihat di media sosial si Belimbing, ia pernah mengutarakan sedikit isi hatinya, yang aku yakin temen-temennya pasti ngelihat. Namun, bukan salah temen-temennya juga kalau mereka nggak memahami Blimbing. Blimbing juga harus berusaha lebih terbuka ke temen-temennya. Ini aku kelihatannya kayak plin-plan gitu ya? Habis belain Blimbing, malah belain temen-temen Blimbing. Bukan gitu maksudnya tahuuuuuuuuuuu! Aku cuma mau berpikir berdasarkan point of view kedua belah pihak.

Kalo misalnya Blimbing udah cerita berkali-kali tapi respon temennya tetep nggak peka? Perlu dipertanyakan apa hati nurani mereka masih berfungsi? Atau memang mereka sengaja mengabaikan? Entahlah cuma mereka yang tahu jawabannya. Aku nggak bisa ngebela Blimbing dengan aksi heboh seperti melabrak teman-temannya dan ngata-ngatain temennya karena mereka nggak peka. Aku hanya memberikan telingaku, membiarkan dia menangis sepuasnya, lalu menyarankan si Blimbing untuk berusaha mengisi pikirannya dengan pikiran positif, bahwa mungkin orang lain di masa lalu pernah nyakitin dia, tapi dia nggak bisa mengeneralisasikan semua orang seperti itu dan beragam wejangan lainnya berdasarkan pengalamanku. Aku harap itu bisa sedikit bermanfaat buat Blimbing.

Berusaha memahami itu emang nggak gampang. Banyak banget hal yang mesti dipahami di dunia ini, tapi kalo kalian nggak bisa memahami semuanya, setidaknya pahami sedikit, misalnya orang di sekelilingmu. Jangan sampai mereka konformitas hanya karena apa yang menurutmu benar berarti udah sejuta persen benar/ mutlak benar. Ketika memahami seseorang kita nggak bisa pake akal sehat doang, hati nurani juga salah satu elemen yang menyeimbangkan supaya kita objektif dalam menilai seseorang. Nggak lupa komunikasi dua arah dari masing-masing pihak juga sangat diperlukan agar nggak terjadi kesalahpahaman.

Terluka, bersembunyi, berpura-pura, itu bukan hal yang enak dan wajar. Perlu disembuhkan oleh waktu dan dengan bantuan orang-orang di sekeliling yang seharusnya supportive. Nggak semua orang bisa santai dalam mengatasi masalah, ada yang langsung sedih banget, ngerasa nggak berharga, dan kita sebagai manusia yang dikasi Tuhan otak dan hati, jangan memperparah keadaan orang yang lagi bermasalah. Beri telingamu, pakai otakmu, libatkan hati nuranimu, beri saran sesuai kapasitasmu.  










Comments

Popular posts from this blog

New normal Dicetuskan, Masyarakat Sudah Disiapkan?

"Kiri, Pak!" [PART.1]

Her Name Yola