Renon Memanggil

Pada 23- 24 September 2019 para mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia mengadakan demo. Demontsrasi/ unjuk rasa ini dipicu revisi undang-undang yang menurut para mahasiswa dapat merugikan rakyat. Para mahasiswa mengajukan 7 tuntutan kepada DPR dan pemerintah yang meliputi, Menggugat RKUHP, menolak revisi UU KPK, kriminalisasi aktivis, isu lingkungan (pembakaran hutan dan tambang), RUU ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada rakyat, problematika RUU pertanahan, RUU penghapusan kekerasan seksual belum ditetapkan. #REFORMASIDIKORUPSI

Hellaw peeps!
Pas ngebaca leading di atas, apa yang terlintas di kepala kalian? Wah pasti mau bahas aksi yang katanya damai tapi ricuh kemaren ya? Aduh, bosen banget sih ini terus beritanya! Timeline aku udah penuh berita-berita aksi demo mahasiswa, pemerintah yang awalnya susah dihubungi, mahasiswa dituduh ditunggangi oleh oknum tertentu, ricuhnya aksi demo yang berakhir pada perlakuan aparat yang semena-mena pada para mahasiswa, atau bahkan anak-anak STM yang tiba-tiba muncul tanpa tujuan yang jelas ke dalam aksi?  Wah, wah, wah, asumsi yang kompleks ya sodara-sodara. Tenang aja, aku nggak bakal bahas hal serinci itu untuk kalian, kalian bisa dapetin berita-berita di atas dengan cara baca di media cetak online, nonton youtube channel-nya ILC atau Mata Najwa, dan media mainstream lainnya.

Aku mau ceritain pengalaman partisipasi demo pertama aku. Aku kan kuliah di Bali, jadi ya demonya di Bali dong, tagar yang digunakan oleh para mahasiswa di Bali yaitu #BALITIDAKDIAM. Setelah diusut kenapa pake tagar begitu, ternyata mahasiswa Bali pernah dikirimin kancut sama universitas-universitas lain karena dianggap pasif dalam menanggapi fenomena sosial yang ada di Indonesia. Bukannya mau ngebelain sih ya, Cuma menurut aku, massa pada saat aksi tidak sebanyak di universitas-universitas di luar pulau, jadi nggak terlalu disorot atau para mahasiswa yang “progresif” belum terlalu banyak.

Sebenarnya mendengar banyak cerita dari kakak aktivis yang aku kenal, baik itu dari kalangan mahasiswa atau yang menekuni dunia jurnalistik, banyak hal yang sudah dan masih sedang diperjuangkan oleh para aktivis yang ada di Bali. Antara lain, isu PLTU Celukan Bawang, Reklamasi Teluk Benoa, protes tentang bazaar yang dapat merugikan mahasiswa tidak mampu di Unud, dsb. Oke malah makin meluas topiknya bung.

Awalnya aku nggak ada niatan sama sekali buat ikutan demo. Aku baca kok isu-isu yang beredar tentang revisi undang-undang yang menuai banyak kontroversi, aku dengar berbagai keluhan rakyat, mulai dari ibu penjual sayur sampai para youtuber. Aku juga sepakat dengan mahasiswa lainnya yaitu tidak setuju dengan banyaknya pasal ambigu dalam revisi undang-undang, contohnya aja dalam pasal 604, korupsi di RKUHP hukumannya lebih diringan dibandingkan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi atau UU Tipikor.  Dalam Pasal 604 RKUHP, disebutkan seorang koruptor dihukum minimal penjara dua tahun dan minimal denda Rp10 juta. Sementara dalam Pasal 2 UU Tipikor yang memiliki rumusan sama persis, hukuman penjara itu minimal empat tahun dan denda minimal Rp1 miliar. 

Aku menyatakan ketidaksetujuanku hanya di kalangan teman-teman dekat saja. Lanjut ya kenapa aku bisa ikutan. Jadi, tanggal 23 September aku lagi nyantai (sok-sok nyantai padahal tugas numpuk gengs wkwk) di kosan karena kampusku libur. Ada acara dies natalis gitu deh makanya diliburin. Terus, temen aku namanya Elis, tiba-tiba membuyarkan hari tenangku, dia ngechat, bilang kalo dia mau ikut acara Poskongkow, rukun sebelum turun. Itu acara yang diadain sama temen-temen yang mau turun aksi besoknya buat ngenalin isu-isu itu di kampus, ada lapak buat baca buku juga, pembacaan puisi terkait isu yang diangkat, dan mengakrabkan diri, kurang lebih seperti itu.

Masalahnya, dia ikut Poskongkownya itu bukan di fakultasnya tapi di fakultasku. Padahal di sekitar fakultas dia juga diadain, alibinya dia karena dia habis dari RS Sanglah, dan kampus yang terdekat untuk dateng ke acara itu ya kampusku. Aku pengin banget nolak, karena kapan lagi libur hari Senin weee?! Hari Senin libur itu bagaikan oksigen tambahan bagi anak sasjep (bagi yang tahu-tahu aja :3), tapi pas ada chat ini (sekalian aku kasi terjemahannya),

[9/23, 10:07] Elisss: aku wes ndek fib to (aku udah di FIB kan)
[9/23, 10:07] Elisss: trs bingung
[9/23, 10:09] Elisss: aku pgn ikut tp malu dewean huhu (Aku pengen ikut tapi malu sendirian huhu)
 [9/23, 10:09] Elisss: aku dewean ini (aku sendirian ini)

Seketika aku ga tega :”) padahal biasanya aku dewi tega, kalo beneran mager aku bakal langsung matiin ponselku, tapi entah kenapa aku tergerak aja buat nemenin dia. Ya udah aku susulin dia ke kampus. Setelah ke kampus hari itu, aku kenalan dengan temen-temen yang ingin melibatkan mahasiswa khususnya di FIB untuk peduli atau berpartisipasi di aksi tanggal 24. Mereka bukan hanya sekadar mengajak, tapi juga mengadvokasi mahasiswa lainnya lewat acara dan brosur tentang isu yang ada. Hari itu gerutuku tentang hari liburku yang terpotong pun lenyap, hal ini membukakan mataku bahwa di luar sana ada hal yang lebih urgent dari sekadar hari liburku, di luar sana bakal banyak rakyat yang dirugiin dengan pasal-pasal yang kesannya menguntungkan para oligarki. Tentu saja aku nggak mau pura-pura bodo amat.

Ada semangat aneh yang menyeruak dalam diriku dan aku memutuskan untuk ikut demo. Padahal aku masih belum terlalu paham mesti nyiapin apaan buat demo, aku cuma membaca tentang masalah yang ada lebih dalam. Jadi, ya sebagai newbie, aku hanya menyiapkan hati dan tekad bulat untuk menolak undang-undang yang menurutku nggak merepresentasikan aspirasi rakyat.

Para mahasiswa di Bali memiliki tuntutan yang sama seperti teman-teman yang ada di berbagai daerah,  cuma ya dikerucutin lagi, jadilah 4 butir tuntutan dilahirkan dari buah pikiran para mahasiswa Bali. Nih aku kasi 4 poin tuntutannya, cek gambar di bawah eaaa!


Pada aksi 24 September yang mana bertepatan dengan Hari Tani Nasional, banyak mahasiswa turun berpartisipasi. Aku nggak nyangka sebanyak itu, pas aku datang ke lokasi demo, di Renon, aku ngerasain betapa adanya kesatuan hati untuk menolak hal yang tidak berpihak dengan kepentingan rakyat. Jujur, aku mau nangis ngelihatnya. Awal dateng semuanya udah pada baris dengan rapi, teman-teman yang baru dateng langsung disuruh masuk ke barisan, aku bareng sama Mas Ifan (temen yang aku kenal) langsung nyempil ke dalam barisan. Kami melakukan longmarch menuju ke Gedung DPRD Bali dan Kantor Gubernur Bali.

Saat berada di Gedung DPRD dan Gubernur Bali, banyak orator dari berbagai perwakilan organisasi, baik mahasiswa, tokoh agama, bahkan sampai LBH, menyampaikan dengan rinci keluhan mereka. Mendengar orasi mereka yang benar-benar mengupas alasan menolak undang-undang yang tidak berpihak pada rakyat membuatku sangat bersyukur ada di tempat itu. Lagu-lagu nasional Indonesia yang disenandungkan, seperti Indonesia Raya, Ibu Pertiwi, BuruhTani, Darah Juang, lalu macam-macam puisi, salah satu yang paling banyak dibacakan adalah puisi Peringatan oleh Wiji Thukul, semakin menyemangati kami walaupun terik matahari menyelimuti kami. 

Di situ, aku ngeposisiin diri aku sebagai rakyat lemah yang haknya ditindas. Mereka pasti bingung mau ngelakuin apa dengan semua keterbatasan yang ada, mereka pasti sedih jika undang-undang itu terlaksana. Aku sampe mikir, para pemerintah yang mengeluhkan aksi mahasiswa yang dianggap tak berfaedah, rusuh, kurang mengkaji masalah yang ada, adalah oknum-oknum yang nggak berhati. Mereka fokus ke hal yang nggak penting, padahal aksi kami adalah hal substansi yang bakal berpengaruh ke kehidupan rakyat Indonesia. Pagar-pagar gedung pemerintahan yang rusak SANGAT NGGAK SEBANDING dengan korupsi yang dilakuin para pejabat yang dampaknya dapat merusak kehidupan bangsa, misalnya, pendidikan yang tidak merata, lahan pertanian seseorang yang diambil seenaknya, bahkan KTP rakyat yang nggak jadi-jadi.

Menurut aku, gagalnya komunikasi yang terjalin oleh pemerintah dengan rakyat, sehingga menimbulkan banyak kerancuan dalam memandang/ memahami revisi undang-undang, merupakan salah satu bentuk pelesapan nilai Pancasila ke-4 dan ke-5. Kurangnya hikmat serta kebijaksanaan pemerintah kepada rakyat dalam melakukan musyawarah. Kemudian, kurangnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Buktinya, jika rakyat di Indonesia telah merasakan keadilan, tidak akan ada banyak keluhan atau demonstrasi masif oleh para mahasiswa di berbagai wilayah di Indonesia. 

Emang bener sih, susah banget nerapin keadilan dengan jumlah rakyat lebih dari 200 juta jiwa, tapi seengaknya ya jangan merugikan rakyat kecil. Indonesia nggak hanya ditinggali oleh kaum elit, kan?  Rakyat yang kuat seharusnya mengayomi yang lemah dan tidak rakus akan keuntungan. Kemanusiaan lebih penting daripada politik!

Maafkan bahasaku  yang campur aduk (formal- informal) kayak adonan roti bantet, atmosfer nasionalismenya pekat banget, halah! wkwkwk. Sebagai rakyat demokrasi kita sangat punya hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan lho! Dilansir dari artikel yang berjudul HAK POLITIK WARGA NEGARA (SEBUAH PERBANDINGAN KONSTITUSI) di website KEMENKUMHAM RI,  Hak turut serta dalam pemerintahan dapat dikatakan sebagai bagian yang amat penting dari demokrasi. Hak ini bahkan dapat dikatakan sebagai pengejawantahan dari demokrasi, sehingga jika hak ini tidak ada dalam suatu negara, maka negara tersebut tidak semestinya mengakui diri sebagai negara demokratis. Lebih lengkapnya bisa baca di link ini ya

Jadi, gunain hak kalian dengan bijaksana, nggak mesti dengan ikut demo kalau emang nggak memungkinkan. Selain demo kalian bisa mengkaji isu-isu yang ada di negara bersama temen-temen, mengadvokasi rakyat yang mungkin kurang paham tentang suatu permasalahan, menyuarakan suara setuju atau tidak setuju dengan program pemerintah lewat tulisan atau bahkan video, serta yang paling penting adalah berdoa buat bangsa dan negara kita. Sekian!

#bonus







Comments

Popular posts from this blog

New normal Dicetuskan, Masyarakat Sudah Disiapkan?

"Kiri, Pak!" [PART.1]

Her Name Yola