Kenapa?

Akhir-akhir ini otakku terjejali beragam pemikiran. Dari yang nggak penting sampai penting. Sebagian besar pemikiran itu memikirkan tentang beberapa orang yang dekat denganku. Aku memikirkan mereka karena status-status dan respon ambigu yang mereka munculkan. Jangan pikir aku hanya mematung, aku mengoptimalkan fungsi mulutku untuk berbicara, lebih tepatnya bertanya mengapa mereka seperti itu. Kenapa? Kenapa? Kenapa?

Bertatapan dengan orang-orang yang sedang aku pikirkan secara langsung membuatku ingin meluapkan seluruh isi otakku kepada mereka. Apa daya, mereka tak memberiku ruang untuk meluapkannya. Salah satu dari mereka yang paling aku soroti, dan dia sangat dekat denganku di sini, seolah-olah membangun tembok untuk menutupi kesedihannya. Sayang sekali.

Sejak beberapa minggu yang lalu, baru saja aku belajar (lagi) tentang terbuka dengan teman dekat baru, eh bahkan orang yang sudah dekat dari lama. Entah kenapa, kesibukan yang tanpa akhir waktu itu membuatku terlalu asyik memendam semuanya sendiri. Orang-orang terdekatku menyadarinya, namun aku tidak. Mereka menyadarinya dan mengutarakannya. "Kalau ada apa-apa itu bilang, kamu anggep aku ini siapa sih?" , "kenapa kamu nggak bilang sih? Aku kan bisa aja bantu kamu!", "kamu kenapa? Ada masalah?". Kira-kira begitu kepingan tanggapan mereka terhadap sikapku yang mulai tertutup.

Hasil pengutaraan rasa penasaran mereka itu membuatku berpikir, iya juga ya kenapa aku jadi gini? Apa yang salah sama aku? Kenapa aku nggak ngasih tahu mereka? Mereka perlu tahu? Ya semacam itu. 

Suatu malam, seseorang yang ikut mengutarakan kekesalannya karena aku tertutup, mengajakku bertemu di suatu minimarket. Dia diam. Aku juga diam. Kami berdua minum minuman masing-masing dan larut dalam pikiran masing- masing. Dia memberikanku sesuatu, yang waktu itu benar-benar menjadi solusi atas masalahku. Aku meresponinya dengan menangis. Aku malu menangis di depan dia. Aku menangis bukan karena dia membantuku. Aku menangis karena aku baru sadar, selama ini orang di dekatku begitu perhatiannya dengan hidupku dan aku malah berusaha dengan menanggung segalanya sendiri. 

Aku menyimpulkan bahwa perbuatan bodohku itu egois. Sejak saat itu aku mengerti, mengapa orang tedekat kita selalu ingin tahu apa yang sedang mengganggu hidup kita akhir-akhir ini. Mereka tidak ingin kita menanggung semuanya sendiri.

Kembali pada sosok yang aku soroti di alinea kedua. Setelah beberapa minggu yang lalu belajar tentang keterbukaan, aku malah menjadi orang yang harus menerima hal yang pernah aku lakukan, singkatnya kayak tukeran kondisi gitu loh wkwkwk. Aku berusaha sabar menunggu dia bercerita. Dia pernah berusaha menghubungiku, dan feelingku mengatakan bahwa dia akan menceritakannya, tapi ketika aku berusaha menghadapinya lagi, dia berangsur-angsur menutup diri (lagi). 
Bingung, sedih, dan kesal teraduk jadi satu. Ingin sekali meneriakinya "WOI NGOMONG APA! DIEM DIEM BAE"

Kita emang nggak bisa selalu ngandelin orang di sekitar kita. Kita juga nggak selalu bakal dibantu orang di sekeliling kita. Orang di sekeliling kita juga belum tentu punya solusi atas segala masalah kita, mereka bukan Pegadaian yang katanya "mengatasi masalah tanpa masalah". Bisa jadi mereka malah bikin kita makin kecewa, mungkin karena mereka nggak punya waktu yang pas buat dengerin kita, mungkin mereka nggak bisa ngehibur kita, mungkin mereka nggak bisa merespon dengan tepat apa yang sedang kita ceritakan, hal berat yang kita alami maksudnya. Tapi percayalah, we deserve to trust someone. You deserve to trust someone!

Kalau ada orang yang merhatiin hal kecil atau bahkan sampai rela peduli pusing-pusing mikirin hidup kita, tolong dihargai. Kita nggak bakal tahu kehidupan kita ke depan, jangan terlalu bangga kalau bisa ngelakuin sesuatu sendiri. Mungkin satu dua hal bisa dilakuin sendiri, tapi nggak semua juga kali dilakuin sendiri, emang situ dewa? Itu gunanya Tuhan ngirim orang-orang dekat buat hidup kita, biar kita nggak nanggung semua sendiri.  Gimana kita mau hargai Tuhan yang nggak kelihatan kalau manusia di bumi yang kelihatan aja nggak kita hargai? Sendiri itu berat. Bersama nggak menjamin hidup kita bakal ringan sih, setidaknya kita bisa sharing beban itu bareng-bareng.






Comments

Popular posts from this blog

New normal Dicetuskan, Masyarakat Sudah Disiapkan?

"Kiri, Pak!" [PART.1]

Her Name Yola