Bunga Popy Milik Letta



Pyone berjalan di atas hamparan pasir putih ini. Pantai Lahewa, sebuah pantai di utara Pulau Nias. Pyone yakin gadis yang ia cari berada di pulau yang sedang ia kunjungi ini. Pyone melirik arlojinya dengan gelisah. Ia sedang menanti Kirei, tour guide-nya selama di Pulau Nias. Pukulan halus mendarat di bahu Pyone. Pyone menoleh secepat yang ia bisa.
“Hei! Kamu telat 2 menit 9 detik.” Ucap Pyone dengan nada marah dibuat-buat.
“Oh, ayolah dude! Yang benar saja kamu merindukanku sampai begitunya!” balas Kirei dengan wajah paling innocent. Dasar tidak tahu diri!
“Dan apakah kita harus menunggu sampai besok untuk menemukan alamat ini?” gerutu Pyone masih melirik Kirei yang sedang mengipasi diri sendiri dengan kipas sate.
Kirei meringisi kepikunannya, ia lupa kalau mereka harus mencari alamat yang mereka tuju sesegera mungkin. “Dasar tidak sabaran! Ayo kita pergi!”
“Dan satu lagi,”
Kirei mendesah pelan, ia ingin sekali menjahit mulut Pyone yang sebawel ibu-ibu arisan. “Apa lagi?”
“Bisakah aku pinjam kipasmu? Di sini panas sekali.” Kirei melempar kipas sate yang tadi dipakainya, dengan sekali tangkap kipas sate itu berhasil direngkuh Pyone si cerewet. Untung saja Kirei memiliki cadangan kesabaran.
*****
Mobil sedan Kirei melaju cukup cepat. Pyone dari tadi sibuk mengganti lagu dari hpnya, perjalanan jauh memang membutuhkan hiburan. Musik adalah hiburan yang paling tepat. Sebenarnya Pyone tidak kekurangan hiburan, karena dari balik kaca mobil, ia dapat melihat pemandangan yang indah di perjalanan. Pohon-pohon sawit yang tumbuh dengan tingginya, pohon-pohon cokelat yang berbuah besar-besar, subur sekali tanah di pulau ini, Pyone terkesima dengan pulau yang baru saja pertama kali disinggahinya ini.
“Apakah masih lama?” Pyone membuka pembicaraan. Kirei hanya mengangguk malas. “Aku sudah tak sabar menemuinya, aku harap dia ingat….” Pikiran Pyone melayang, ia mengingat masa lalu dengan gadis itu. Kirei memahami apa yang sedang Pyone rasakan, walaupun Pyone menyebalkan, tapi Kirei tahu bahwa Pyone memiliki hati selembut sutera, kalau ada kain yang lebih lembut dari sutera, kain itulah yang pantas menggambarkan hati milik Pyone.
****
Sakura melangkah buru-buru, ia harus segera menemui murid-muridnya. Menjadi dosen memang tidak mudah. Ia sudah kesasar tiga kali hanya untuk mencari kelas sastra yang akan diajarnya. Maklumlah, Sakura adalah dosen baru di universitas itu. Tunggu dulu. Seperti suara seseorang terisak. Ya, Sakura belum tuli. Ia berbelok dari arus yang harusnya ia lewati, ia menghampiri ruangan di belakang perpustakaan. Ia mendapati seseorang di sana. Ia mendekat peralahan, ia takut yang ia temukan adalah hantu seperti di film horor.
“Saya nggak mau diganggu!” bentak orang yang terisak itu. Perasaan tadi Sakura belum bicara apa-apa. Dahi Sakura berkerut. Tanpa menghiraukan perkataan orang tersebut Sakura berjalan lebih dekat ke orang tersebut.
“Nih.” Sakura menyodorkan tisu dari dalam saku celana jinsnya. Beberapa detik orang itu tak meraih tisu dari Sakura. Sakura tetap bersikeras memberikan tisu pada orang itu.
Beberapa menit kemudian orang tersebut menyerah. Orang tersebut mengambil tisu yang disodorkan Sakura, lalu tanpa babibu orang itu pergi meninggalkan Sakura yang berdiri mematung di sana. Sakura menghela napas lega karena orang itu mau menerima tisunya, walaupun ia harus ditinggalkan tanpa ucapan terima kasih, namun itu tak menjadi masalah bagi Sakura.
Lima belas menit Sakura terlambat masuk ke kelasnya. Murid-muridnya berhamburan rusuh tak menentu. Sakura mengetokkan penghapus white board ke papan tulis, sekali ketokan saja membuat keadaan kelas berangsur tenang. Senyum Sakura terbit ketika melihat wajah murid-muridnya, Sakura sangat antusias untuk mengajar.
“Pagi semua!” sapa Sakura semangat.
“Pagi, Ms!” jawab seisi kelas serempak.
“Oke. Perkenalkan nama saya Sakura, saya senang bisa mengajar di sini. Ada yang mau ditanyakan? Oh iya, kalau mau bertanya, harap angkat tangan lalu sebutkan nama dulu. Silakan.”
Salah seorang cowok yang wajahnya kearab-araban mengangkat salah satu tangannya tinggi-tinggi. “Nama saya Dodit. Ms, udah nikah belum?” sorak sorai menghujani cowok tersebut. Pertanyaannya nyeleneh sekali.
Sakura berusaha tetap terlihat berwibawa. “Aduh, saya masih belum nikah, Dodit. Lagian saya masih mau mencapai cita-cita saya dulu. Nggak ada pikiran sama sekali untuk menikah.”
Seorang cowok lainnya mengangkat tangan. Sakura mempersilakan cowok tersebut untuk bertanya, “Nama saya Alan. Ms umurnya berapa? Minta nomer hp dong Ms” kali ini hampir semua cowok di kelas itu sudah siap-siap dengan pulpen dan secarik kertas di tangan mereka. Sedangkan para cewek hanya mencibir tingkah para cowok yang tak tahu malu itu.
Sakura tampak bingung dengan pertanyaan-pertanyaan murid-muridnya. Aneh-aneh saja. “saya baru 22 tahun. Catet ya, 082365780292”
Seorang murid cewek nyeletuk dengan suara cempreng, “Nama saya Renci Ms. Itu beneran nomernya Ms?”
“Itu nomer mantan saya.” Para cewek di kelas itu tergelak dengan pernyataan innocent Sakura. Sedangkan para cowok mendengus sebal. Sakura menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah murid-muridnya. “Oke, saya melayani satu pertanyaan lagi, setelah itu kita langsung belajar.”
Seorang cowok lainnya mengangkat tangan. Sakura mengatur napas untuk menerima pertanyaan dari muridnya lagi. Semoga kali ini pertanyaannya masuk akal, harapnya. “Ms paling suka apa?”
“Saya suka bunga. Bunga papaver somniferum.” Wajah Sakura memerah setelah mengucapkan bunga kesukaannya. Ia kembali memandang murid yang bertanya tentang kesukaannya tersebut. Ia makin lekat menatap wajah itu. “Maaf, nama kamu siapa?”
“Saya penerima tisu dari Ms. Sakura” seisi kelas memandangnya heran, Sakura mengingat kejadian di belakang perpustakaan tadi. Oh! Ternyata dia murid Sakura. Sakura menyunggingkan senyum paling manis ke arahnya.
*****
BERSAMBUNG.....

Comments

Popular posts from this blog

New normal Dicetuskan, Masyarakat Sudah Disiapkan?

"Kiri, Pak!" [PART.1]

Her Name Yola