Naray (p. 2)
Vanka menggaruk kepalanya tanda bingung. “Ah lupakan.” Kataku pura-pura manis. Aku melanjutkan percakapanku dengan diriku sendiri, dia ini anak tetangga yang melaporkan orang tuaku ke polisi. Mengapa ia tahu aku di penjara? Apakah nyalinya sebesar itu untuk menemuiku? ***** Aku berada di mobil Vanka. Kami sudah dalam perjalanan selama 30 menit dan aku bahkan tak tahu ke mana tujuan kami. Tapi aku sudah biasa dengan hidup tanpa arah, jadi kunikmati saja. Sepanjang perjalanan, Vanka menanyaiku dengan pertanyaan tak penting. Aku menjawab ketika aku mau saja, saat kurasa aku muak dengan pertanyaannya aku akan membungkam mulutku, dan ia hanya tersenyum melihat tingkah anehku. Yang aneh aku atau dia? Sepertinya dia. “Oh iya Naray, sesudah bebas ini kau ingin melakukan apa? Apakah meraih cita-citamu yang sempat tertunda?” tanyanya sambil fokus menyetir. Aku menyeringai. Aku tahu dia tidak ingin mengetahui cita-citaku. “Cita-citaku sudah tercapai.” Jawabku singkat. “Memangnya c...